Bagiku hidup adalah untain perjalanan panjang dengan tujuan yang penuh kepastian. Kepastian tentang jalan yang telah ditentukan olehNya, jalan penuh warna yang akan kita warnai sendiri dengan kanvas kenangan, asa, do’a, dan bahagia. Memberi warna yang indah bahkan lebih indah dari pelangi di ujung senja. Aku mencoba tetap berdiri tegar setegar karang ditengah haru birunya hati ini meniti jembatan kehidupan. Selalu menatap kedepan mencari kebahagiaan hakiki.
Terlahir di dunia ini memang bukan jalan yang diinginkan, namun semua telah tertata indah di Mahfuz yang tak mungkin ter-delete setelah matrai kehidupan menjadi saksi bisu perjanjian denganNya.
Surga adalah tujuan akhir dari kehidupan fana bagiku, ayah dan bunda. Bahkan semua mahluk yang tak pernah menikmati hembusan nafas sekalipun. Duka dan bahagia hanyalah partikel kecil kehidupan dari banyaknya partikel penguji keimanan yang akan aku lalui. Luka hati yang begitu menyayat menjadikan aku terpaku disudut kepiluan mengenang bunda, seorang wanita yang telah memperjuangkan hakku untuk dapat merasakan sejuknya buliran oksigen yang mengalir lembut di sela-sela ruang pernafasan. Sosok yang aku banggakan karena aku telahir dari rahimnya yang kokoh.
Sesekali membayangkan betapa indahnya idul fitri bersama bunda, meskipun semua itu hanyalah rangkaian mimpi panjangku di tengah pengharapan kebahagiaan. Memang benar hidup itu adalah pilihan, bahkan pilihan untuk mempertahankan akidah turut beperan dalam panggung kehidupan yang sedang aku jalani. Bingung... Pilihan mana yang akan aku rengkuh untuk mencapai surga itu? Akankah berbakti kepada orang tua yang menjadi pilihanku, terutama kepada bunda? Namun Bukankah Cinta kepada Allah haruslah di atas segalanya?
***
Perjalanan panjang dari kampus kerumah sangat melelahkan. Hiruk pikuk suara kendaraan sepanjang jalan membuat fikiranku tambah kacau. Menatap kosong dibalik kaca hitam yang sama sekali tak menghalangi pandanganku. Mataku tertuju pada beberapa bocah yang dengan riangnya bergelak tawa dan hanyut dalam indahnya dunia bermain. Ingin rasanya aku kembali kemasa itu, masa kecilku yang hidup tanpa beban apapun tentang keselamatan bunda. Tapi waktu tak mungkin bisa di hentikan hanya untuk menunggu bunda benar-benar menjadi sosok impianku. “ labor..labor..labor” , suara supir angkot ini membuat aku terhempas jauh dari dunia khayalku.Tak terasa aku sudah sampai didekat persimpangan rumah, dan waktunya berhenti mengkhayal.
Sesampainya di pintu rumah, dengan suara agak sedikit tertahan, aku mengucapkan salam dengan harapan ada balasan dari doa yang baru saja aku ucapkan. Walaupun sebenarnya aku tahu bahwa tak akan ada jawaban selagi hanya ada bundaku di dalam rumah. Tanpa menunggu lama, salamku telah disambut bunyi pintu berkarat dengan decitan yang sudah sangat kuhafal. Bunda selalu menyambut kedatanganku dengan senyumnya yang seolah menggambarkan betapa ia sayang kepadaku, karena aku lah satu-satunya harapan dan pelita hidupnya.
Kurengkuh tangannya seperti biasa. Mencium punggung tangannya yang sudah tak secant dulu. Tangan itu sudah tak secantik ketika aku masih duduk di bamgku Sekolah Dasar. Kucium tangannya dengan penuh takzim. Aku sangat ingin bersamamu di surga, Bunda. Akan kah kita bisa bersama hanya karena hubungan darah kita? Pertanyaan demi pertanyaan tentang bunda dan surga selalu hadir tatkala aku mencium tangan beliau. Ah… aku sangat sayang padamu, Bun.
“Bunda, Ami kekamar dulu ya” tanpa mengurangi rasa hormatku terhadap bunda, aku meminta izin pada beliau untuk beristirahat
“Kamu tidak makan dulu, Nak? Hari ini bunda masak tumis kangkung kesukaan kamu” pinta bunda padaku.
“Iya, Bunda. Ami mau makan tapi mungkin nanti malam saja kalau sudah terasa laparnya, Bun. Ami sekarang mau istirahat dulu, badan Ami rasanya capek-capek nih, Bun . Nanti bunda jangan lupa bangunkan Ami kalau sudah terdengar adzan di mesjid ya, Bun”
Tanpa harus menunggu jawaban Bunda, aku langsung ambil langkah menuju kamar yang sudah penuh dengan kenangan masa kecilku. Kebiasaan bunda tidak harus mengatakan “iya” untuk menunggu persetujuan darinya, hanya dengan melihatnya diam dalam balutan senyum berarti bunda akan penuhi permintaanku.
Aku mencoba untuk merebahkan tubuh lelahku di kasur empuk yang telah belasan tahun menemaniku. Dan pikiranku mulai lagi melayang jauh. Menembus langit-langit kamarku. Menuntunku kembali mengingat percakapanku dengan kakak mentorku di kampus tadi siang. Aku mencoba menarik pita memoriku kembali untuk mengingat buliran mutiara yang disampaikan Kak Renata tadi siang. Mutira yang keluar dari hati Kak Rena memang sangat menyejukkan.
“Dik, surga itu ada dibawah kaki Ibu. Seandainya kita selalu berbakti kepada beliau pasti kita dapat meraih surga itu dengan mudah setelah semua kewajiban kita dengan Allah kita tunaikan. Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita seperti yang Allah katakan dalam surat Luqman ayat 14 yang artinya “Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah lemah,dan menyapihnya dalam usia dua tahun”. Bisa kita bayangkan, Dik, betapa berat penderitaan yang ibu kita rasakan, mulai dari mengandung kita. Beliau membawa kita kemanapun beliau pergi dan dengan penuh kasih sayang beliau menjaga kita dari gangguan dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Setelah kita terlahir pun beban itu belum berkurang, bahkan semakin bertambah. Ibu dengan penuh kasih sayang merawat kita, memberikan kita ASI, menjaga kita siang dan malam bahkan beliau tak sempat memejamkan mata demi menjaga kita. Tanpa kita sadari, hampir setiap malam kita membagunkan beliau, hanya untuk mendapatkan pelukan terhangat dari sosok ibu. Lalu apakah kita tega membiarkan orang yang penuh kasih sayang itu menangis karna perbuatan kita yang melalaikan tanggung jawab kita sebagai anak untuk berbakti? Mari sama-sama kita renungkan, Dik. Sudah berapa banyak air mata beliau yang menetes karena sayangnya beliau pada kita? Apakah kita tega membiarkan beliau terseret ke jurang Neraka karena perbuatan kita? Apakah kita masih sanggup berbohong pada ibu setelah semua kebaikan beliau kepada kita?Naudzubillah. Dik, doakanlah selalu kedua orang tuamu, sisipkanlah seuntai do’a untuk mereka. Do’akanlah semoga kita semua bisa berkumpul bersama orang-orang yang kita cintai di surgaNya kelak. Termasuk bersama ibu dan ayahmu”
Perasaanku tak dapat dibendung lagi, tangisku pun memecah keheningan. Aku biarkan kata-kata itu menyelami dasar fikiranku. Aku hanya bisa menangis membayangkan beratnya perjuangan bunda mempertahankan aku untuk tetap bisa menghirup segarnya oksigen yang Allah berikan secara gratis. Aku tak ingin melihat bunda tersesat. Di mana baktiku sebagai seorang anak? Aku benar-benar bingung bagaimana caranya agar aku bisa menuunaikan kewajibanku sebagai anak dan mencari surge itu.
“Tok..tok..tok” pintu kamarku yang penuh dengan stiker Asma’ul Husna diketuk oleh seseorang. Hmmm, sepertinya itu bunda. Kulirik jam tangan yang sudah 2 tahun menemani hidupku. Oh, ternyata sudah masuk waktu magrib. Bunda memang tak pernah alfa untuk mengetuk pintu kamarku ketika waktu shalat sudah masuk tapi sayang, hanya sebuah ketukan pintu yang mampu bersuara mengajakku menunaikan kewajiban itu,
Perlahan aku mencoba untuk bangun dari hamparan sajadah berwarna hijau muda kesayanganku, dan mencari mushaf yang selalu aku gunakan untuk menemukan cahaya penerang hidupku. Ayunan tanganku begitu gesit dapat meraih Al-Qur’an itu di dalam ranselku yang juga penuh berisikan buku-buku referensi kuliahku. Kubuka Surat Luqman. Aku masih belum puas dengan apa yang aku dapatkan tadi, kubaca suratLuqman ayat 14, namun mataku tertuju pada ayat berikutnya, ayat 15. Setelah selesai melantunkan ayat tersebut, aku langsung baca terjemahan ayatnya dengan cermat.
“ Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui, maka janganlah engkau menaati keduanya. Dan pergauililah mereka di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepadaKu”
Lagi-lagi air mataku mengalir menuju pipiku yang temok. Bagaimana mungkin aku tak menaatinya, Ya Allah. Dia itu ibu kandungku. Aku sayang padanya, aku ingin meluruskan jalannya. Aku tak mungkin meninggalkannya di jalan yang sesat.
Hatiku hancur, aku belum merasa cukup jika hanya membaca ayat itu sekali saja. Aku mencoba mengulang bacaan itu lagi dengan khidmat. Subhanallah. Allah ingin agar aku tetap memeperlakukan ibu dengan baik dalam menikmati indahnya dunia agar tak jauh lalai. Menghibur beliau ketika pahitnya hidup menghimpit keindahan itu. Allah tetap memerintahkanku untuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang kumiliki, terutama bunda. Apapun keadaan beliau aku harus tetap berbakti. Sungguh Allah Maha Rahim. Tetap menyayangi hambaNya meskipun telah ingkar. Allah masih sayang kepada bunda dengan menjadikan aku belahan jiwa bunda yang insyaAllah akan membimbingnya kembali kejalan menuju surga.
Aku mencoba memejamkan mata lelahku. Beristirahat setelah menunaikan kewajiban isya’. Menghilang sejenak dari hiruk pikuk masalah kehidupan. Dan aku mulai berada jauh dalam mimpi, mimpi tentang surga dan segala kenikmatannya
***
Handphone-ku berdering, mengalunkan merdunya nasyid kesukaanku “Raihan ; Peristiwa Subuh” ternyata alarm-ku berbunyi. Kehidupan baru telah menantiku. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu’ dan menunaikan kewajiban subuhku.
Jam menunjukkan pukul 8.10 WIB. Dan hari ini adalah hari minggu. Aku ingin beristirahat dirumah, mudah-mudahan saja tidak ada informasi rapat kerja mendadak seperti hari Kamis kemarin. Tapi aku hampir lupa sesuatu. Kalau hari ini aku tidak ada kegiatan kampus, berarti aku harus siap menerima kenyataan pahit lagi. Melihat kenyataan bahwa bundaku bukanlah seorang muslimah. Aku harus mengantarkan bunda ke Gereja. Hari ini Bunda akan beribadah kepada Tuhan yang menjadi kepercayaannya.
Surga, bagaiman kabarmu? Rinduilah aku, Surga. Karena suatu saat aku dan bunda pasti akan menemuimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H