Saya pernah mengungkapkan perasaan pada suami saya, melalui satu tulisan. Dalam tulisan itu saya mengungkapkan, tips dan trik menghadapi suami yang hobi memancing. Saya menuliskan bahwa salah satu yang bisa kita jalani sebagai istri adalah, meminta ganti pada suami atas waktu keluarga yang hilang.
Saya sering bilang pada suami saya, kalau saya nggak perlu jalan-jalan asalkan kita bertiga kumpul di rumah selayaknya keluarga lain. Dalam sepekan suami saya kerja, sering sekali kami berdua rasanya tidak benar-benar fokus mengasuh murni hanya berdua. Kami ingin kebersamaan kami yang benar-benar bertiga, dan tidak terdistraksi oleh apapun, di lingkungan kami.
Karena suami saya jarang bisa diam di rumah, akhirnya suami saya menawarkan kalau hari Sabtu ini saya dan anak ikut dia belanja perabotan, untuk persiapan mancing hari Minggu yaitu beberapa alat pancing dan racikan umpannya. Lalu kami berangkat menuju Waduk Darma, sepanjang perjalanan kami dimanjakan oleh cerita-cerita suami tentang apa saja yang pernah dia lalui, dari mulai menolong orang di tanjakan ekstrim yang kami lewati, menyimpan motor jauh dari lokasi memancing, hingga menceritakan kenapa dia akrab dengan penjajaja makanan di sana.
Nah suami saya juga menggambarkan Kalau mancing di Darma ini, diperbolehkan. Saya sering bertanya apakah boleh ikannya kita makan dan kita tangkap? Dia selalu menjawab, "Tak apa-apa,orang lain juga banyak memancing di sana, banyak yang berangkat ke sana, malahan orang sini (daerah kami) sekarang banyak yang ikut-ikutan ke sana," Kata dia dengan mantap.
Saya memang bukan tidak suka dengan hobinya, saya hanya kurang suka dengan cara dia menghabiskan waktunya karena bisa seharian bahkan pulang hanya tidur dan besoknya berangkat lagi memancing sampai pulang sore lagi. Mungkin karena saya memiliki anak kecil yang masih sangat harus dijaga, jadi emosi saya pasang surut. Anak kami berusia dua tahun, dan ternyata alam bawah sadar saya mengatakan kalau saya sangat butuh suami saya, kalau tidak bisa tiap hari mengasuh bersama-sama, setidaknya setiap akhir pekan kita bisa sama-sama mengasuhnya.
Suami saya menceritakan kalau memancing di tempat yang disewa, dia memiliki banyak manfaat. Selain tidak kehujanan dan tidak kepanasan, dia juga ternyata lebih nyaman di sana, dibandingkan orang-orang yang memancing tidak dirakit. Mereka yang tidak menyewa tempat duduk di rakit hanya akam berjalan-jalan saja di sisi danau buatan itu.
Lanjut saya bertanya, "Apa bedanya mereka juga? Sama-sama bebas kan?" Suami saya menjawab, "Saya mungkin bisa saja memancing dengan tidak terlindung seperti itu, tapi minusnya saya tidak akan nyaman, karena berjalan di tepi danau itu sangat tidak nyaman, kaki saya pernah gatal-gatal terkena rumput-rumput liar."
Menurutnya, pemancing di sini datang dari tempat yang jauh, ada yang dari Kawali (Ciamis) ada yang dari Cikijing (Majalengka) ada yang dari Panawangan juga. Mereka juga berkebiasaan yang sama, setiap hari menghabiskan waktu di sini. Bukan hanya akhir pekan, tapi karena sambaran ikannya senagih itu, semakin sulit menaklukan ikan, maka besoknya lagi akan semakin penasaran.
Perasaan itu hanya dialami oleh pemancing katanya, suami saya juga menuturkan kalau dia sering datang ke sini lebih pagi karena takut kalah cepat dengan pemacing lain. Memang suami saya berangkat ke sini hampir habis subuh, apalagi kalau sedang bulan Ramadan bisa-bisa setelah imsak dan sahur, dia sering berangkat pagi sekali. Dengan dada membusung, suami saya bilang, "Kami datang ke sini bukan cari ikan, tapi sensasi sambarannya."
Ikan yang ada di Waduk Darma itu membuat pemancing makin penasaran dan semakin ingin datang lagi ke tempat itu, tempatnya selain syahdu tapi bikin rindu juga. Tapi saat datang kesana hari Sabtu kemarin, cuaca sedang tak menentu, anginnya besar dan cukup dingin. Ikan tak terlalu makan umpan, tapi itulah tantangannya katanya.