Hari ini adalah hari raya umat Islam yang agung, Hari Raya Idul Adha. Di tahun ini, Idul Adha bertepatan pada hari Ahad, tanggal 5 Oktober 2014. Semarak takbir menggema ke sekeliling alam raya. Tabuhan bedug dan sorak-sorai anak-anak semakin menambah kehangatan lebaran. Unfortunately, there a missing thing in this special moment. Aku berlebaran di tengah suasana yang belum pernah dialami sebelumnya. Aku berlebaran di tengah keluarga seiman namun tak sedarah sehingga cukup membuat rasa sedih ini berkali-kali terbersit. Ketika takbir pertama shalat Id dimulai, air mata mulai meleleh karena membayangkan kelurga di rumah (haa sholatnya khusyuk ngga ni?).
Mau tidak mau, sedih tidak sedih, lebaran tanpa keluarga tetap saya alami karena pertimbangan masa kuliah yang tidak bisa seenaknya digeser atau diliburkan. Nah, setiap kejadian tentunya ada hikmahnya bukan? Let’s check it out, inilah beberapa keberuntungan yang aku dapat saat berlebaran di Kota Hujan (tanpa kebersamaan dengan keluarga).
1.Pertama kalinya shalat Id di lapangan. Selama sembilan belas tahun di dunia, jujur, this is first time shalat di lapangan beserta sekian ratus ummat muslim lain. Merasakan shalat dengan menghamparkan koran di jalanan dekat GWW, melihat orang-orang lain yang berwajah asing, dan bisa memerhatikan sekian banyaknya orang dengan berbagai karakteristik (aku melihat panitia-panitia dari DKM Al-Hurriyyah yang ikhlas mengatur shaf, panitia yang membawa tumpukan kardus infaq, anak-anak yang nangis, anak-anak yang menggenggam balon Masha berwarna pink, perempuan-perempuan haid yang masih semangat mendengarkan khutbah di tempat duduk parkiran ojeg, dan masih banyak lagi).
2.Pertama kalinya mendengarkan khatib yang sangat semangat. Beliau bernama Ustadz Abdul Mughni, Lc, M.HI, imam besar Masjid Andalusia Tazkia. Bacaan Qurannya tegas dan lugas, enak didengar. Intonasi suaranya sangat kuat dan bersemangat. Dalam khutbahnya, beliau menyampaikan dua dimensi hari raya yang terdiri dari dimensi rabbaaniyyah dan insaaniyyah. Dimensi rabbaaniyyah berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan. Artinya, momen hari raya adalah sebagai pengingat dengan Tuhan. Sedangkan dimensi insaaniyyah berkaitan dengan hubungan kita dengan sesama manusia dengan menebar kebaikan. Cotohnya dengan membagi-bagi daging kurban.
3.Misteri tidak memotong kuku dan rambut sebelum hewan kurban kita disembelih. Inilah ilmu yang baru aku tahu dari sang ustadz, bahwa larangan tersebut bertujuan agar di hari akhir kelak semakin banyak anggota tubuh kita yang menjadi saksi dan pembela bagi kita.
4.Menuntut diri semakin mandiri. Kata Ibu, tidak selamanya orang-orang yang kita sayangi akan berada di samping kita. Mungkin, kejadian saat ini mengandung sisi pembelajaran bagiku agar aku lebih bisa mandiri.
5.Menuntut diri agar lebih sabar. Tidak semua kenikmatan akan kita dapatkan selamanya. Hidangan spesial lebaran, ketupat, kue-kue manis, sate, tongseng, sirup, buah-buahan, tidak aku temui di sini. Aku yakin, inilah pembelajaran sabar bagiku. Aku bersyukur masih bisa membeli nasi kuning, tempe orek, dan telur di pagi Idul Adha ini.
Tentunya masih banyak hal yang masih belum aku sadari sebagai hikmah yang bisa dipetik di hari Idul Adha pertamaku di sini. Itulah pengalaman pertamaku. Bagaimana dengan pengalamanmu? Dan satu hal lagi, aku ingin mengucapkan bahwa aku sedang sangat rindu keluarga dan rumah di Garut, selamat Idul Adha 1435 H keluarga besarku! Allaahu akbar walillaahilhamd. (Nida Fadlilah-@newmarkasinpirasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H