Lihat ke Halaman Asli

Nida Aulia

Blogger dan Cerpenis

Secangkir Teh Hangat

Diperbarui: 29 Juli 2024   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pexels/Ahmed Aqtai

Matahari perlahan-lahan mulai terbenam, meninggalkan langit jingga yang menawan. Aku duduk di kursi goyang di teras rumah dengan secangkir teh hangat di tangan. Uap yang mengepul perlahan menghangatkan udara di sekitarnya, meresap ke dalam tubuhku, mengusir udara dingin yang menusuk kulit. Kegiatan ini sudah menemaniku dalam kesendirianku selama lima belas tahun terakhir di desa kecil ini.

Suara angin yang berbisik di antara pepohonan di halaman depan telah menemani hari-hariku yang sunyi. Kayu kursi yang ku duduki ini berderit setiap kali ia bergoyang, mengisi kekosongan yang menghantui rumahku.

Aku melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia sepuluh tahun perlahan menggiring bola sepak memasuki halaman rumahku. Dia mengoper bola sembarangan, tidak ada teman sebaya di sampingnya yang bisa menerima operan bola tersebut. Dia menggiring dan mengoper, terus begitu berkeliling di halaman rumahku. 

Mungkin, kelihatannya anak kecil tersebut tengah asyik bermain sepak bola. Namun, wajahnya tampak letih. Aku bisa melihat matanya yang besar berkaca-kaca, seolah-olah dia menahan air mata yang ingin tumpah.

Tiba-tiba, anak kecil itu menoleh ke arahku, menatapku sejenak. Kemudian, dia berjalan dengan tenang ke arahku sambil membawa bola sepak di kedua tangannya.

Dia berhenti tepat di dekat teras rumahku. Tangan kanan anak kecil itu terangkat, telapak tangan menghadap ke wajahnya. Tangan itu bergerak lembut menyentuh bibirnya. Kemudian, tangan itu terentang ke depan, jari-jari membentuk lengkungan seperti huruf C.  

Semua gerakan itu dia lakukan dengan diiringi oleh senyum lembut dan pandangan mata yang penuh keramahan. Seolah-olah tangan itu sedang menyapa, aku tersenyum membalasnya.

Dia kembali mengangkat tangan kanannya, mendekatkannya ke mulut, seolah-olah sedang menyeruput minuman. Gerakannya lembut, penuh sopan santun. Kemudian, tangannya bergerak membentuk persegi panjang kecil di depan dada, menggambarkan bentuk cangkir.

Dengan gerakan yang penuh arti, anak laki-laki itu menggabungkan kedua gerakan tersebut. 

Dengan senyuman, aku menyodorkan cangkir teh di tanganku yang belum sempat ku minum. Anak itu melihatku dan tersenyum lebar. Dia mendekat dan duduk di kursi tepat di sampingku, menerima cangkir teh yang ku tawarkan dengan kedua tangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline