Wahai warga, Mari berkontribusi untuk negara
NIK, nomor induk kependudukan, merupakan identitas tunggal, universal, bagi seluruh warga negara Indonesia. Dengan sifat NIK yang unik, yaitu melekat seumur hidup, maka NIK menjadi nomor yang banyak dipakai di hampir seluruh dokumen. Sebutlah, penerbitan paspor, polis asuransi, SIM, NPWP, pembukaan rekening bank, dll. Jadi, jelas, mengapa harus ada NIK.
NIK akan diintegrasi ke NPWP, diwacanakan pertama kali oleh Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani Indriati, dan akan berlaku mulai tahun 2023. Hal ini telah disetujui DPR, akan tetapi menyisakan kontroversi pada benak warga Indonesia. Sesungguhnya dapat dimengerti bahwa, pemerintah, dalam beberapa tahun belakangan ini, menggenjot sumber pendapatan tambahan negara melalui penerimaan pajak. Hal ini didasari oleh jumlah angkatan kerja yang makin meningkat, dan kebutuhan fiskal pembangunan yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, ekspektasi pemerintah belum tercapai, terlihat dari rasio pajak yang rendah.
Apakah dengan integrasi ini tujuan pemerintah dapat tercapai? Memang, jalur yang ditempuh pemerintah tidak selalu mulus, tetapi ini adalah cara yang ampuh dan bijaksana dalam hal mewajibkan angkatan kerja dengan penerimaan penghasilan lebih dari 4,5 juta per bulan untuk memiliki NPWP dan berkontribusi pada negara. Dari sisi administratif, integrasi DJP (Direktorat Jendral Pajak) dan Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) , adalah bermanfaat, sehingga layanan publik ke masyarakat menjadi optimal. Sesuai dengan Peraturan Presiden no 39 tahun 2019 akan satu data di Indonesia, masyarakat juga tidak rancu lagi, karena hanya ada satu data identitas diri. Upaya integrasi ini tidak luput dari tujuan utama, di mana adalah penegakan kepatuhan perpajakan.
Rasio penerimaan perpajakan di Indonesia tergolong rendah, artinya penerimaan pajak dibandingkan terhadap produk domestik bruto masih kecil. Banyak masyarakat masih belum paham akan bagaimana proses pembayaran pajak, manfaat nya serta adanya konotasi negatif yang terlanjur melekat, sehingga prinsip taat pajak masih jauh dari harapan. Kesadaran masyarakat yang rendah menyebabkan masyarakat kita juga tidak patuh dan taat pajak. Upaya pemerintah mengadakan sosialisasi merupakan tindakan meminimalisasi faktor di atas. Lantas, apakah semua adalah kesalahan wajib pajak? Menilik dari sisi wajib pajak, persepsi pajak dengan petugas pajak juga harus disetarakan. Artinya ada standarisasi yang ditetapkan pemerintah dengan klasifikasi yang jelas. Implementasi di lapangan juga harus jauh dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Wajib pajak harus merasa negara melindungi dan mengayomi warga dengan kontribusinya. Negara juga menggunakan dana tersebut dengan efektif dan efisien.
Manfaat pajak juga harus terdistribusi dan dirasakan oleh seluruh warga Indonesia. Sejak pemerintahan Jokowi, pemerataan pembangunan telah banyak mengalami perbaikan, dengan adanya pembangunan infrastruktur baik jalan tol, pelabuhan, bendungan, dan program pembangkit listrik.. Alokasi anggaran belanja yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa, telah didistribusikan ke daerah, seperti pada rencana pembangunan IKN (ibukota negara) di Kalimantan timur Penajam Pasir Utara.
Sistim pengelolaan dana yang transparan, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik sangat diharapkan untuk mensukseskan program reformasi birokrasi.. Komitmen dan koordinasi antar lembaga juga penting, untuk menghindari pemborosan anggaran. Praktek KKN yang melekat pada sebagian budaya birokrat harus dieliminasi untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Besar harapan penulis, integrasi ini adalah langkah awal pembenahan diri menuju Indonesia sukses, Indonesia kuat, dan Indonesia emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H