Lihat ke Halaman Asli

Pencabutan Moratorium Fakultas Kedokteran: Solusi yang Tidak Menyelesaikan Masalah

Diperbarui: 20 Februari 2018   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Mari bertanya. Apakah pencabutan moratorium fakultas kedokteran merupakan "solusi salah masalah"?

Pernah dengar kata moratorium? Sebagian dari kita mungkin masih merasa asing dengan kata ini karena frekuensi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari memang tidak terlalu tinggi (alias, tidak sering). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima tahun 2016, salah satu arti kata ”moratorium” adalah “penundaan; penangguhan.”Jadi, moratorium fakultas kedokteran adalah penangguhan pendirian fakultas kedokteran baru.

Kelajuan pendirian fakultas kedokteran baru di Indonesia barangkali dapat dikatakan terlampau cepat. Dalam jangka waktu antara 2008 dan 2010, terdapat 20 fakultas kedokteran baru yang berdiri, di mana pada 2008 terdapat “hanya” 52 fakultas dan menjadi 72 fakultas pada 2010. Kelajuan yang cepat ini tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan kualitas fakultas kedokteran, baik yang baru didirikan maupun yang sudah ada. Sebagai gambaran, pada tahun 2009, berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dari 69 fakultas kedokteran yang ada, 27 fakultas di antaranya belum terakreditasi, sedangkan 10 lainnya terakreditasi C, 18 terakreditasi B, dan “hanya” 16 terakreditasi A.

Pemerintah setidaknya telah melakukan dua kali moratorium pendirian fakultas kedokteran baru, yaitu pada 2010 dan terakhir—yang akan lebih dibahas—pada Juni 2016. Setelah desakan dari berbagai pihak, seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Kemenristekdikti akhirnya memberlakukan moratorium fakultas kedokteran baru melalui surat edaran tertanggal 14 Juni 2016.

Ada beberapa hal yang mendorong institusi seperti KKI, ISMKI, serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendukung diberlakukannya moratorium pendirian fakultas kedokteran baru. Tingkat kelulusan mahasiswa kedokteran dalam Ujian Kompetensi Mahasiswa Peserta Pendidikan Dokter (UKMPPD) dapat dikatakan masih sedikit, dengan 30% pesertanya masih harus mengulang ujian.

Surat edaran moratorium fakultas kedokteran yang terbit 14 Juni 2016 tersebut memuat 3 poin, yaitu evaluasi penyelenggaraan dan kualitas lulusan FK yang telah ada, penghentian sementara pengajuan FK sampai terdapat perbaikan mutu yang signifikan, dan pengecualian pembukaan FK baru jika terdapat wilayah yang memerlukan pemenuhan kebutuhan tenaga dokter.

Dicabut

Pada September 2017, dunia kedokteran kemudian dikejutkan dengan pembukaan kembali pengusulan progam studi kedokteran. Dengan kata lain, moratorium yang ditetapkan Juni 2016 dicabut. Kemenristekdikti mengatakan bahwa pembukaan kembali dilakukan karena beberapa daerah masih kekurangan tenaga dokter. Kemenristekdikti menyatakan bahwa prodi kedokteran akan diberikan kepada daerah yang belum memiliki prodi kedokteran, seperti Provinsi Banten dan Provinsi Gorontalo. Alasan lain yang digunakan untuk memvalidasi pencabutan moratorium adalah memenuhi Sustainable Development Goals(SDGs) untuk mencapai masyarakat sehat dan memiliki akses pada layanan kesehatan.

Pencabutan moratorium ini kemudian menuai kritik dari banyak pihak. Dari sisi pemangku kepentingan seperti KKI, ISMKI, IDI, serta asosiasi-asosiasi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi, kritik didasarkan atas fakta bahwa selama moratorium berjalan setahun lebih, belum ada perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan dokter, terutama fakultas-fakultas yang masih memiliki akreditasi C.

Dari sisi masyarakat awam, ketakutan muncul karena pendirian fakultas-fakultas kedokteran baru tanpa memerhatikan kualitas pendidikan dikhawatirkan dapat menghasilkan dokter dengan kualitas kurang baik. Bukan tidak mungkin di masa depan kepercayaan masyarakat terhadap dokter semakin menurun akibat kasus-kasus seperti malapraktik dan salah diagnosis, dua kasus yang seharusnya dapat dicegah melalui pendidikan dokter dengan kualitas baik dan terjaga. Pemerintah diharapkan mampu menyebar lembaga pendidikan kedokteran yang memenuhi standar sekaligus memperbanyak jumlah dokter lulusan yang kompeten.

Sebenarnya, apa masalahnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline