Lihat ke Halaman Asli

"2gether Series", Boys Love dan Habermas

Diperbarui: 13 Mei 2020   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Youtube GMMTV

Sudah minggu ke-12 tayang di LineTV dan live streaming youtube GMMTV, 2 gether series mampu menyita perhatian jutaan orang. Bagaimana tidak, setiap jumat malam series ini menjadi trending di Thailand dan bahkan trending worldwide di Twitter. Karakter Tine yang diperankan Metawin dan karakter Sarawat yang diperankan Bright menjadi perpaduan yang selaras.

Jujur saja, menurutku tidak ada konsep pasangan lelaki sesama lelaki yang ideal sebenarnya. Tetapi, aku ingi mengambil kesempatan diri untuk mengidealkan pilihan pribadiku, dan itu adalah Tine dan Sarawat.

 Boleh setuju atau tidak setuju, Tine dan Sarawat sukses membawa dan memenangkan suasana Boys Love dunia yang saat ini pula mulai sering dibincangkan di Indonesia. Series 2gether juga membawa banyak pelajaran soal gender dibaliknya, (baca juga)

Netizen Indonesia menjadi heboh karena diantara penikmat BL series yang menyerang akun instagram Gigie (pemeran Pam di series itu) dengan sebutan "Pelakor", pasalnya peran Pam menjadi masa lalu Sarawat yang kemudian membuat Tine terluka. 

Tine, tentu saja sudah menjadi bagian dari hidup Sarawat. Perhatian pada 1 atau 10 netizen yang tidak bijak menggunakan sosial media, tidak wajar rasanya menjadi generalisasi bagi penikmat BL, bukan?

Pecinta BL, aku yakini memiliki perspektif dan keluwesan pikir saat menonton same-sex couple. Tidak dibenarkan adanya judgement, tidak dibenarkan adanya kata "Pelakor" juga. 

Pelakor yang dikatakan adalah singkatan perebut laki orang, itu tentu merendahkan derajat kemanusiaan seseorang ya stigma itu. Bagi penikmat BL sepertiku, jujur saja drama itu kadang terbawa (rasanya ini seperti realita), namun tentu memiliki ruang dan batas tertentu.

Boys Love adalah realita, itu yang aku maksud pada drama yang kadang terbawa realita. Seperti yang disebutkan Sartre dan Merleau-Ponty, bahwa "sexuality is coexistensive with existence", yang artinya seksualitas selalu berdampingan dengan eksistensi. 

Pada kesalahan kita, acapkali seksualitas diartikan sebagai alat genital (kelamin). Padahal sungguh berbeda, Freud menyebutkan seksualitas adalah kecerdasan intrinsik bagi pelepasan genital. Artinya, alat kelamin itu sendiri tidak sama dengan narasi seksualitas. Ini boleh memunculkan perdebatan.

Mari melihat perspektif Jrgen Habermas, yang ingin agar suatu teori tidak hanya sekadar menjelaskan hal-ikhwal sedemikian rupa. Juga, menurut Habermas, seorang teoritis seharusnya tidak sekadar merenung di perpustakaan lalu memberi saran penyelesaian masalah lewat publikasi tulisan. Hal terpenting yang luput dari cara seperti itu, menurut dia, adalah sisi praxis kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline