Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan: Mimpi yang Tak Indah di Ekor Borneo

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Nikodemus Niko, B. Soc. Sc

Pulau Kalimantan adalah daratan atau pulau terbesar ke-tiga di dunia, setelah daratan Greenland dan New guine. Kalimantanterbagi atas tiga negara yang mendiami, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Pulau kalimantan bagian wilayah Indonesia terbagi atas lima provinsi yakni Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Setiap wilayah memiliki perkembangan yang berbeda-beda.

Sebut saja wilayah Sarawak (Malaysia) dengan Kalimantan Barat (Indonesia) dua negara yang memiliki kebudayaan dan tradisi yang hampir sama, namun berbeda dalam kemajuan segala hal seperti ekonomi dan teknologi. Didalam kedua negara tersebut memiliki Etnik mayoritas yang disebut cidayu (cina, dayak dan melayu). Ketiga Etnik ini memiliki budaya yang sangat mirip, misalnya: tradisi ‘Naik Dango’ atau ‘Gawai’ pada Etnik Dayak. Di Kalimantan Barat tradisi ini dilakukan setiap tahun sekitar bulan April-Juni. Tidak ada ubahnya di Serawak, Etnik Dayak disana juga merayakan tradisi yang sama—Gawai.

Memiliki persamaan tradisi dan budaya bukanlah suatu hal signifikan yang patut di banggakan. Ada yang lebih dan sangat penting dari itu semua. Di Malaysia dikenal dengan sebutan education, atau di Indonesia lebih familiar disebut ‘Pendidikan’. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting di negara belahan mana pun di bumi ini. Tidak terkecuali di negara Indonesia dan Malaysia. Dua negara yang menyatu bagai dua sisi mata uang.

Tidak bisa kuceritakan tentang pendidikan di Malaysia, yang ku ketahui mereka memiliki fasilitas pendidikan yang tidak bisa ku ungkapkan dengan kata apa pun dalam tulisan ini. Tetapi aku berbohong jika menutupi hal itu. Bohong ku berarti diam-ku yang membiarkan pendidikan di negeri tercinta ini menjadi kenangan yang tidak jauh berbeda dengan yang terdahulu. Terutama bagi mereka kaum ibu ku.

Aku pernah menitikkan air mata ketika berada di sebuah perkampungan perbatasan negara yang letaknya di Kecamatan Entikong. Sebuah bangunan yang mereka sebut sekolah memiliki seribu lubang pada lantai dan dinding gedung. Berbanding terbalik saat memasuki wilayah Sabah (Malaysia) yang memiliki gedung bertingkat tiga untuk primary school atau Sekolah Dasar (SD). Bagai langit dan bumi. Mungkin perumpamaan ini yang tepat untuk mengekspresikan kondisi tersebut.

Sebagai refleksi saya tampilkan kembali tulisan saya yang pernah terbit di koran harian Pontianak Post.

Anak Perbatasan, Bolehkah Sekolah Tinggi?

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari problematika yang beragam. Jika kita lihat sekilas Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. yang terbentang luas di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia dianugerahkan dengan pemandangan yang sangat beragam, dari riceland’s subur di Jawa dan Bali, hutan hijau di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, padang rumput savana dari pulau-pulau Nusa Tenggara, puncak tertutup salju Papua Barat dan masih banyak lagi wilayah indonesia yang indah. Hingga ke hasil budaya yang terkenal berasal dari indonesia seperti Batik, Keris, Wayang dan Angklungsebagai “World Heritage” atau Warisan Budaya Dunia.

Bangsa Indonesia merupakan Bangsa yang kaya sumber daya alam dan kaya akan budaya. Namun, permasalahan terbesar dan utama pada masyarakat di Indonesia adalah kemiskinan.Indonesia mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun pada kenyataannya hal ini pengecualian bagi masyarakat di perbatasan Etikong (Indonesia-Malaysia). Belum ada perubahan yang lebih baik yang terjadi.

Orang kaya makin kaya, dan si miskin terus berkutat dalam kemiskinannya. Di beberapa wilayah perbatasan khusus didaerah yang terisolir dari jalur transportasi ibukota Kabupaten dan kecamatan seperti di wilayah pedalaman perbatasan Entikong, rakyat miskin masih sangat banyak. Daerah perbatasan yang masih tertinggal, tingkat kehidupan dan pendidikan pada umumnya masih rendah, hal inilah yang menyebabkan rakyatnya miskin. Kondisi ini terjadi di wilayah perbatasan pedalaman Entikong, hal ini dilihat dari tingginya jumlah keluarga miskin serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan negara Malaysia. Lalu, apakah apakah bangku pendidikan tinggi masih ada untuk mereka? Boro-boro pendidikan tinggi, pendidikan menengah bahkan pendidikan dasar saja mereka banyak yang tidak tamat. Adilkah ini untuk mereka? Sementara di negara sebelah sistem pendidikannya sangat bagus.

Dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tertulis jelas bahwa negara berperan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apakah pendidikan di Indonesia sudah merata? Permasalahan utama masyarakat di pedalaman perbatasan Entikong adalah infrastruktur. Kesejahteraan masyarakat di perbatasan tergantung daripada infrastruktur di daerah tersebut. Lalu, bagaimana pemerintah dapat memenuhi kebutuhan pendidikan yang akan membantu masyarakat dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia, sementara tidak ada aksesibilitas infrastruktur yang baik.

Sumber: Pontianak Post.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline