Lihat ke Halaman Asli

#Puzzle 13: Short Journey Conversations

Diperbarui: 4 Januari 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sadrach Hadikuncoro lahir dan besar di Demak, kota di pesisir utara pulau Jawa. Meski di kota ini pernah berdiri kerajaan maritim besar pasca Majapahit bernama Demak Bintoro, namun peninggalan keraton-nya sudah tidak bisa ditemui. Bukan hanya karena kebiasaan suksesi gaya Mataraman yang menghilangkan segala yang terkait rezim terdahulu, hal itu terjadi karena Gubernur Jenderal Deandels telah menghancurkan sisa-sisa bangunannya untuk pembangunan jalan raya Semarang – Demak. Tindakan itu sepertinya sebuah upaya untuk menghapus jejak-jejak Islam Nusantara yang dianggap berpotensi besar melawan proyek kolonialisme. Belanda memang memiliki banyak siasat untuk menjajah, seperti insiden pembangunan jalan raya di tanah pemakaman keluarga Diponegoro di Tegalrejo yang menyulut Perang Jawa dan berujung pada takluk sepenuhnya Kerajaan Jawa.

Jiwa pemberontakan seorang Sadrach Hadikuncoro telah mengantarkannya menjadi seorang direktur eksekutif NGO Pelangi Warna-Warni saat ini. Ia telah lama malang-melintang di dunia lembaga swadaya masyarakat, mulai dari yang membela korban kesewenangan negara, pemantau korupsi sampai gerakan liberal saat ini. Sejak kuliah ia telah memperjuangkan sengketa lahan antara rakyat dan sebuah perkebunan negara. Buku-buku kiri meresapi otaknya sejak SMA, dan semakin intens saat aktif pada perkumpulan kemahasiswaan beraliran sosialis. Namun pemikirannya mulai berubah sejak ia berkenalan dengan beberapa funding dari Eropa dan Amerika saat pelatihan manajemen NGO di Jakarta. Pelan-pelan buku bacaannya bergeser dari Das Kapital-nya Karl Marx, Kiri Islam-nya Asghar Ali Enginer, Making Globalization Work-nya Joseph Stiglitz, The End of History-nya Francis Fukuyama, dan hari-dari ini bergenre “Change We Can Believe In”-nya Obama dan “Open Society”-nya George Soros.

Lima tahun sebelum menempuh studi di Canberra, Sadrach menamatkan Perguruan Tinggi di kota tempat Sunan Kudus menyebarkan kedamaian islam. Kota Kudus diimpikan oleh sang anggota Wali Songo menjadi seperti Al Quds (Yerusalem), tempat yang damai bagi tiga pemeluk agama samawi. Sebagai ungkapan toleransi, Sang Sunan melarang pengikutnya memakan daging sapi, hewan yang dipuja oleh umat Hindu. Pun arsitektur Masjid Agung Kudus lugas mengekspresikan akulturasi antara bangunan Hindu dan Islam itu. Menara untuk mengumandangkan azan yang menjulang itu memiliki struktur bangunan candi dari bahan batu bata merah, demikian pula pintu gerbangnya yang berbentuk gapura, meskipun kubahnya seperti kubah masjid Al Aqsho di tanah Palestina.

Namun sungguh ironis, Sadrach bekerja di NGO yang dibiayai oleh zionis internasional, yang mengangkangi kota Al Quds dan membatasi muslim beribadah di masjid Al Aqsho, dan melakukan upaya sistematis men-Yahudi-kan kota Yerusalem. Pemerintah yang sama pula yang menggali terowongan di bawah masjid kuno bersejarah itu sehingga berpeluang memperlemah strukturnya. Peran Sadrach yang menonjol dalam gerakan liberalisasi di Nusantara telah membukakan pintu baginya mendapatkan beasiswa program master pada jurusan Public Policy di ANU. Beasiswa yang diberikan oleh sebuah lembaga internasional itu sebenarnya sangat cukup untuk membiayai kehidupan Sadrach, namun bekerja part time adalah sebuah tantangan bagi siapapun. Memanfaatkan sebagian waktunya, bersama Lawe yang beasiswanya pas-pasan mereka mencari bugs42-demi bugs sebagai tenaga cleaning service di Manuka Residential Area.

Kedua mahasiswa ANU itu memilih bekerja diluar kampus mereka untuk menghindari perasaan malu. Senin sampai Jumat pukul 5:00 am mereka berdua menuju Manuka dengan sedan milik Lawe. Perjalanan selama kira-kira 30 menit dari Toadhall ke Manuka pergi pulang itu memberikan kesempatan yang sangat berharga. Obrolan santai mereka itu mengusung isu-isu nasional, internasional, sampai masalah pribadi yang agak sensitif. Meskipun seringkali mereka sepakat untuk tidak sepakat, dalam banyak hal pula pendapat mereka bisa kompak. Bagaimanapun karena kebaikan Lawe, Sadrach berusaha menjaga perasaan kawannya itu. “Bisa jadi aku tak setuju dengan pendapatmu, tapi aku orang pertama yang akan membelamu jika ada yang mengusikmu karena pendapatmu itu, Lawe”, kata Sadrach suatu kali.

Pagi ini Lawe menunggu Sadrach di mobilnya sambil mendengarkan sebuah komposisi Johann Sebastian Bach yang menghentak-hentak dari sebuah radio FM di mobilnya. Parkiran Toadhall dipenuhi daun-daun pepohonan yang semalaman telah berguguran. Saat musim gugur mulai menyentuh, negeri sub-tropis Australia berubah seperti sebuah negeri dongeng. Sejak suhu udara turun derastis karena hembusan chill dari Kutub Selatan beberapa hari yang lalu, Pohon Plum mengugurkan daunnya seperti telanjang. Mereka telah memberikan semua buahnya pada Kakaktua putih dan Galah di musim panas kemarin. Kini mereka seperti onggokan pohon mati yang ikhlas dirajam musim dingin yang mulai mengintip.

Hanya cemara dan pinus dari marga casuarina yang berdaun seperti bulu burung Kasuari serta Sequoia Giganteum, Cedrus Atlantica dan Cupressus Arizonica tidak menggugurkan daunnya di musim rontok itu. Pohon Eucalyptus Melliodora, Eucalyptus Cinerea yang berdaun warna abu-abu menjulur-julur seperti ular yang dipegang perutnya merana di suhu yang berubah dingin itu. Pepohonan itu sedih ditinggal riang nyanyian burung-burung yang mulai menyembunyikan tubuhnya di liang-liang lapuk atau sarang-sarang mereka.

Pohon populous nigra menjulang tinggi dengan ujung-ujungnya yang sudah rontok dihinggapi burung-burung Kakaktua putih. Pohon eucalyptus grandis benar-benar telah menanggalkan seluruh kulitnya, menjulang tinggi kayu dalamnya yang berwarna putih seperti kulit orang-orang Eropa. Pohon populous angulata dan Mapple (platanus acerifolia) yang berbuah bulat berbulu perlahan merubah warna daunnya dari hijau, menguning dan kemudian menjadi coklat. Perpaduan ketiganya gradasi warna itu membentuk komposisi seperti seragam tentara Australia.

Pohon Salix Vitellina yang menjulang tinggi, pohon Populous Alba, Acacia Baileyana, Ulmus Americana serta Fraxinus Excelsior var. Aurea yang rimbun, pohon Betula Pandula, Callistela Viminalis dan Salix Babilonica (Weeping Willow) yang menjuntai seperti rambut bidadari menguning sampai akhirnya gugur dalam warna coklat kekeringan. Pohon Quercus Borealis, Acer Pseudoplatanus, Fraxinus Raywoodii dan Pistacia Chinensis serta merta merubah warna daunnya menjadi merah gelap, seperti menunjukkan kesedihannya yang dalam ditinggalkan musim panas.

Tiap detik, daun Platanus Acerifolia berguguran sambung menyambung seperti ketukan tuts-demi tuts simphoni Johann Sebastian Bach dua puluh tiga bar yang dimainkan di Sydney Opera House. Satu-persatu daun-daun itu gugur layaknya bintang-bintang jatuh dari langit, dan daun platanus acerifolia itu memang berbentuk bintang segi lima. Pohon Sophora Japonica serta merta merontokkan semua daunnya yang telah menguning layaknya hentakan drum terakhir komposisi orkestra, terserak diatas tanah disekitar pokok pepohonan.

Nada-nada lembut mengalun, dari komposisi Mozart. Kini Sadrach kelihatan di kejauhan, sedang membuka pintu entrance Toadhall dengan kartu di tangannya. Matanya lalu menyapu halaman parkir sampai menemukan sebuah mobil yang lampunya menyala, dengan Lawe nampak dibelakang setir. Kaki Sadrach melangkah tergesa dengan dengusan napas yang berubah menjadi uap putih. Tak menunggu lama ia membuka pintu dan menjatuhkan pantatnya di kursi sebelah Lawe, ”maaf, sudah menunggu lama”. Maka dimulailah short journey conversation.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline