Setiap bangsa atau negara di dunia ini pasti memiliki identitas dan ciri khasnya masing-masing. Lantas, apa hal yang menjadi ciri khas bagi bangsa kita, Indonesia? Bangsa kita dikenal oleh karena keberagaman dan keanekaragaman budaya pada kancah internasional.
Indonesia merupakan negara yang sangat multikultural dan plural kebudayaannya, walaupun hal tersebut tidak selalu tercerminkan secara nyata oleh tingkat toleransi dari masyarakat kita (Putra, 2021). Kepulauan Indonesia memiliki sekitar 18.110 pulau, 700 bahasa, dan kurang lebih 1300 kelompok etnis yang hampir seluruhnya berasal dari kepulauan Indonesia (Yuniarni, 2016).
Pemerintah dan pendiri bangsa Indonesia sejak lama berusaha menonjolkan hal ini sebagai ciri khas dalam profil bangsa Indonesia di mata dunia. Semboyan negara kita, "Bhinneka Tunggal Ika", memiliki inti sari dan nilai penting yang erat dengan persatuan dalam keberagaman.
Presiden Indonesia ke-4, Bapak Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama "Gus Dur", diberikan julukan "Bapak Pluralisme" oleh karena aksi dan semangat beliau dalam memperjuangkan hak dari kaum minoritas. Tak hanya itu, pendidikan Indonesia juga sangat menitikberatkan pada edukasi terkait keberagaman budaya dan sikap-sikap yang perlu dimiliki oleh setiap insan dalam menanggapi hal tersebut.
Dalam berbicara mengenai keberagaman budaya Indonesia, kita tidak bisa melepaskan pembahasan dari awal mula eksistensi kebudayaan-kebudayaan tersebut di tanah air.
Apakah kebudayaan yang eksis dan populer saat ini memang native dan asli dari Indonesia? Apakah ada kebudayaan di Indonesia yang tergerus oleh kebudayaan lain dan ditelan oleh waktu? Dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang ada, pada kesempatan ini penulis ingin menyorot tentang bagaimana kebudayaan Hindu-Buddha, dua corak kebudayaan tertua di Nusantara, dapat mempengaruhi seni bangunan pada masyarakat Indonesia.
Secara keseluruhan, hampir seluruh penemuan historis mengenai perkembangan peradaban manusia mengindikasikan bahwa Animisme merupakan sistem kepercayaan yang pertama dan tertua, lalu diikuti oleh Dinamisme, Shamanisme, dan pemujaan terhadap leluhur (Ege & Budke, 2022).
Dinamisme merupakan sistem kepercayaan di mana sebuah objek diyakini memiliki kekuatan besar yang dapat mendatangkan bencana atau kebaikan, sedangkan animisme merupakan kepercayaan yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki esensi spritual dan roh yang mendiami mereka (Utama et al., 2019). Kedua sistem kepercayaan ini tidak menjadi aspek yang dominan dalam peradaban manusia sampai pada zaman Megalithikum.
Setidaknya, manusia baru mulai mengenali sistem kepercayaan Shamanisme pada zaman Upper Paleolithic, akhir dari zaman Palelolithikum, yang diduga juga mendorong ekspansi manusia modern ke luar Afrika pada waktu tersebut (Balme et al., 2009; Rosanno, 2009).
Pada zaman Megalithikum, sistem kepercayaan Animisme dan Dinamisme mulai menjadi komponen yang cukup menonjol dalam peradaban manusia. Hal ini dibuktikan melalui banyaknya peninggalan bersejarah yang memiliki nilai-nilai religi pada saat itu, mulai dari menhir, dolmen, sarkofagus, dan lain-lain. Situs-situs peninggalan bersejarah zaman Megalithikum sepertinya tersebar di seluruh penjuru kepulauan Indonesia dan pada umumnya memiliki rupa yang mirip.
Mereka tidak memiliki bentuk, corak, atau pahatan khusus yang menunjukkan suatu pesan, visualisasi, atau pun narasi. Hal ini dengan jelas mengatakan bahwa peradaban manusia di Nusantara menganut sistem kepercayaan Animisme dan Dinamisme sebelum masukanya kebudayaan bercorak Hindu-Buddha.