Telah menjadi hakikat bagi manusia sejak lama untuk percaya. Sistem kepercayaan atau agama dapat ditemukan di sepanjang sejarah peradaban umat manusia dan semua budaya yang diketahui. Namun, pernahkah terlintas di pikiran anda mengenai alasan fundamental dan radikal di balik keharusan seorang individual untuk percaya kepada eksistensi sebuah sosok yang lebih besar? Sistem kepercayaan didasarkan pada kebudayaan dan pola pikir manusia, serta merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial dan kecenderungan kita untuk melihat dunia dari sudut pandang manusia. Dua sistem kepercayaan prasejarah paling tua pada peradaban manusia adalah animisme dan dinamisme. Dinamisme merupakan sistem kepercayaan di mana sebuah objek diyakini memiliki kekuatan besar yang dapat mendatangkan bencana atau kebaikan, sedangkan animisme merupakan kepercayaan yang meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki esensi spritual dan roh yang mendiami mereka. Walaupun begitu, sistem kepercayaan belum menjadi fokus utama bagi manusia yang hidup pada zaman prasejarah. Sistem kepercayaan zaman prasejarah tentu memiliki pengaruh dan menjadi perintis bagi perkembangan kepercayaan sepanjang sejarah. Hal ini menyebabkan keragaman sistem kepercayaan atau agama yang bisa diamati di zaman ini. Oleh karena natur dan hati nurani manusia yang rusak, perbedaan yang ada sering dijadikan justifikasi untuk menginisiasi perpecahan. Padahal, kerukunan di antara umat beragama harus senantiasa dipelihara guna menciptakan lingkungan yang harmonis dan sejahtera.
Awal dari sistem kepercayaan dapat ditarik mundur sampai pada zaman Paleolithikum. Pada zaman tersebut, manusia masih fokus untuk berburu dan menunjang kehidupan dengan memenuhi kebutuhan pokok. Tak hanya itu, mereka juga sering berpindah-pindah tempat atau bersifat nomaden. Dengan budaya dan kebiasaan ini serta kecerdasan yang belum memadai, maka sistem kepercayaan belum bisa dikenali pada zaman itu. Namun, sistem kepercayaan yang bernama shamanism mulai muncul dan berkembang bagi manusia modern di Afrika pada zaman Upper Paleolithic. Hal ini diduga memiliki peran yang vital dalam mendorong migrasi serta ekspansi manusia keluar Afrika (Balme et al., 2009; Rosanno, 2009). Kepercayaan yang muncul pada zaman ini tidak dapat dibandingkan dengan kepercayaan yang berkembang bersamaan dengan munculnya ilmu agrikultur oleh karena perbedaan kompleksitas dan kecerdasan peradaban yang ada. Shamanism memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan setelah mati serta alam yang dihuni oleh roh orang yang telah meninggal. Walaupun shamanism terkesan seperti agama universal yang dianut oleh manusia pada zaman itu, namun shamanism sendiri bukanlah sebuah agama, melainkan kumpulan kepercayaan dan kebiasaan yang terpusat pada komunikasi dengan arwah leluhur (Eliade, 1964; Winkelman, 1990).
Setelah zaman Paleolithikum, manusia akan memasuki zaman berburu dan meramu tingkat lanjut atau zaman Mesolithikum. Pada zaman ini, kelompok-kelompok manusia melakukan interaksi dengan satu sama lain sehingga menyebabkan akulturasi. Hal ini tentu akan mengembangkan serta meningkatkan taraf hidup mereka oleh karena adanya pertukaran informasi, tak terkecuali dalam sistem kepercayaannya. Manusia pada zaman ini menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme bukan agama atau filosofi, melainkan sebuah fitur dari mentalitas manusia, sebuah produk dari proses-proses kognitif yang memampukan manusia untuk memiliki kecerdasan sosial dan kepercayaan akan roh atau makhluk supranatural (Tylor, 1871). Oleh sebab itu, pengaruh dan ciri-ciri dari animisme dapat ditemukan di hampir seluruh sistem kepercayaan lainnya. Meski begitu, sistem pelaksanaan kemasyarakatan pada zaman ini belum berkembang sejauh itu, sehingga aturan-aturan yang mengatur mengenai perilaku beragama masih belum ada.
Selanjutnya, manusia akan memasuki zaman bercocok tanam atau zaman Neolithikum. Di zaman ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam aspek pangan manusia. Bila sebelumnya mereka hanya mengonsumsi produk hewani, kini mereka mampu bercocok tanam dan menambahkan tumbuhan sebagai salah satu opsi makanan. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengesankan mengingat minimnya ilmu pengetahuan pada zaman itu, mereka berhasil mendobrak batas demi meningkatkan taraf hidup. Manusia pada zaman ini juga masih memercayai animisme dan dinamisme, namun lahir sejumlah aksen pembeda yang identik dengan kegiatan bercocok tanam di zaman itu. Mereka menyembah matahari, bulan, dan komponen alam lainnya yang bertanggung jawab atas hasil panen mereka. Para wanita menjadi simbol dari kesuburan serta bertanggung jawab atas kelimpahan hasil panen sebab mereka dianggap sebagai komponen yang krusial dalam kelahiran atau penciptaan. Tak hanya itu, objek-objek keagamaan seperti kuil, sekte, dan artefak keagamaan yang sakral bisa ditemukan di zaman ini.
Lalu, peradaban manusia memasuki zaman Megalithikum atau zaman batu besar, yang mana merupakan akhir dari Zaman Batu bagi manusia sebelum memasuki Zaman Perunggu. Sistem kepercayaan yang secara dominan dianut oleh manusia pada zaman ini adalah animisme. Namun, animisme yang dimaksud lebih merujuk pada pemujaan roh atau arwah nenek moyang. Hal ini dapat dibuktikan melalui peninggalan bersejarah zaman Megalithikum yang secara dominan tersusun oleh benda-benda keagamaan seperti menhir, dolmen, sarkofagus, monolit, dan lain-lain.
Pada akhirnya, Zaman Batu pun berakhir dan manusia memasuki Zaman Logam yang diawali dengan Zaman Perunggu. Sesuai dengan namanya, manusia di zaman ini sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengolah logam menjadi suatu objek yang baru. Maka dari itu, sejumlah benda peninggalan bersejarah dari zaman ini tidak hanya terbuat dari batu namun juga logam, seperti nekara, kapak, bejana, dan lain-lain. Terjadi pekembangan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia pada zaman ini, salah satu contohnya ialah adanya pembagian pekerjaan berdasarkan keahlian masing-masing individu. Sama seperti zaman-zaman sebelumnya, manusia pada zaman ini masih menganut animisme dan dinamisme sebagai dua kepercayaan utama.
Seiring berjalannya waktu, sistem kepercayaan umat manusia juga terus berkembang bahkan sampai pada titik di mana animisme menjadi sebuah istilah yang asing bagi sebagian besar dari kita. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang menyebabkan sistem kepercayaan untuk berkembang? Sistem kepercayaan atau agama merupakan rasa hormat untuk hal-hal supranatural, sakral, dan spiritual yang lahir sebagai produk dari proses evolusi serta mekanisme psikologis manusia untuk menyelesaikan suatu masalah (De Waal, 2013). Dengan penekanan pada kebersamaan, rasa hormat serta pengalaman yang dimiliki secara bersama ini akan menyatukan sejumlah individual menjadi satu komunitas. Sebuah agama atau kepercayaan akan lahir bersamaan dengan meningkatnya kapasitas manusia untuk bersosialisasi dan mengadakan kontak sosial.
Sistem kepercayaan pada masa kini sudah jauh lebih kompleks dan bervariasi bila dibandingkan dengan zaman prasejarah. Mulai dari monoteisme, politeisme, henoteisme, monolatrisme, ateisme, dan lain-lain. Semuanya pasti mendapat pengaruh dari kepercayaan lain pada masa formasinya. Agama Abrahamik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi mendapat pengaruh dari konsep kepercayaan Mesir dan Zoroastrianisme yang dapat ditarik mundur sejauh 1000-600 SM. Ketiga agama tersebut bersifat monoteisme yang artinya kepercayaan pada satu figur Tuhan dan sering kali diposisikan sebagai kebalikan dari politeisme, yaitu kepercayaan akan banyak Tuhan. Uniknya, kendati lebih dari setengah populasi manusia di dunia disusun oleh penganut agama Kristen dan Islam, namun politeisme memberikan pengaruh terbesar kepada semua kepercayaan sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
Seluruh kepercayaan yang ada di dunia ini pada akhirnya mengalami ekspansi dan persebaran ke seluruh belahan dunia melalui berbagai media. Bangsa-bangsa Eropa melakukan penjelajahan ke dunia bagian timur menggunakan semangat atau motto 3G, yaitu gold, glory, dan gospel. Selain mencari kejayaan dan kekayaan, mereka juga bertujuan menyebarkan agama Nasrani kepada negara-negara yang mereka kunjungi. Contoh lain ialah kedatangan agama Hindu-Buddha ke Indonesia yang diyakini terjadi karena sejumlah, seperti teori Sudra, Waisya, Brahmana, Ksatria, dan Arus-Balik.
Kepercayaan dan agama yang berasal dari maupun masuk ke Indonesia menyebabkan pluralisme agama di bangsa kita. Pluralisme dalam wujud perbedaan yang ada pernah menjadi sumber konflik yang menghambat kemerdekaan Indonesia, ini tentu merupakan hal yang buruk dan berdampak negatif. Sebaliknya, kita perlu membina dan menumbuhkan rasa saling memiliki dan toleransi antarumat beragama sehingga kerukunan serta kesejahteraan lingkungan bangsa dan negara bisa tercapai. Perbedaan yang ada tidak seharusnya menjadi konflik yang menyebabkan perpecahan, melainkan sebuah kelebihan bagi bangsa untuk bergerak ke arah yang lebih baik.
Untuk mencapai kerukunan tersebut, pemerintah Indonesia memperkenalkan sebuah konsep, yaitu trilogi kerukunan umat beragama. Konsep tersebut mengatur hubungan, sinergi, serta interaksi yang benar pada intern umat beragama, antaraumat beragama, serta antarumat beragama dengan pemerintah Indonesia untuk menciptakan kerukunan beragama yang sejati. Tak hanya itu, pemerintah dan bangsa Indonesia juga menciptakan kebebasan beragama bagi masyarakatnya melalui konstitusi dan aturan-aturan yang berlaku.