Lihat ke Halaman Asli

Jurnalisme Online: Cepat Belum Tentu Tepat

Diperbarui: 1 April 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompasiana.com

Latar Belakang

Selamat Pagi, Siang, Sore, Malam, Dini hari, kompasianers! Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun yang membaca tulisan ini, diharapkan ada sesuatu yang bermanfaat yang didapat. Minggu-minggu sebelumnya, saya telah banyak membahas mengenai jurnalisme online. Selain jurnalisme online, saya juga membahas mengenai “New Media” atau media baru yang mana menjadi pembicaraan banyak orang pada masa ini.

Semua yang telah saya bahas sebelumnya memang tak terlepas dari satu teknologi yang bernama internet. Internet memiliki kecanggihan berupa jaringan cepat yang dapat menghubungkan kehidupan di masyarakat modern. Internet digadang-gadang menjadi penemuan canggih yang mengawali penemuan-penemuan canggih berikutnya. Bisa kita ambil contoh yaitu sosial media, google, blog, media online, dan yang kita pakai saat ini, kompasiana.com. Tanpa ditemukannya internet, mungkin kita saat ini masih kesulitan untuk mendapat informasi dalam bentuk yang cepat, mudah, dan murah. Orang-orang dari berbagai kalangan pun dapat menikmati fasilitas internet gratis di kafe-kafe atau pun ruang publik lainnya. Biasanya kalangan yang sering menggunakan internet adalah kalangan mahasiswa. Mahasiswa memanfaatkan internet atau tempat-tempat yang ada wifinya guna keperluan membuat tugas di internet, atau sekedar browsing, berselancar di internet.

Terlepas dari bahasan internet, kali ini saya akan membahas isu-isu yang lagi-lagi akan ada kaitannya juga dengan jurnalisme online. Sesuai judul yang saya angkat yaitu “Jurnalisme Online: Cepat Belum Tentu Tepat” rasa-rasanya sudah dapat merepresentasikan apa yang akan saya gali pada tulisan ini. Mendengar judul di atas, apa yang terbersit di pikiran kompasianers? Apa membahas Kode Etik Jurnalisme (KEJ)? Atau ada dari kita yang beranggapan senada dengan judul tersebut bahwa jurnalisme online kurang tepat? Kurang tepat dalam hal apa? Jurnalistik kah? Masih kah ia dapat disebut sebagai praktik jurnalistik? Bagaimana sebenarnya eksistensi jurnalisme online dalam memegang teguh prinsip jurnalistik? Ya benar, semua pikiran-pikiran yang terbersit itu akan dibahas pada tulisan ini. Maka dari itu, mari kita bahas bersama

Ketika akan menulis artikel ini, sontak saya teringat kala kuliah jurnalisme online. Kala itu, dosen menanyakan kepada kami mahasiswa Jur-On (singkatan dari Jurnalisme Online) perihal beberapa artikel di kompasiana yang sebenarnya mengarah ke jurnalistik tetapi bukan jurnalistik. Pertama, kami bingung ketika ditanyakan seperti ini “Apakah ini termasuk bagian dari jurnalistik?,” kami diam seribu bahasa, kami bingung, sebab unsur-unsur berita jurnalistik sekilas ada pada berita tersebut. Ada yang menjawab sebagai karya jurnalistik, namun ada pula yang menjawab tidak. Lelah kami berpikir dan berdiskusi yang mengundang tanya, akhirnya kami pun menyerah.

Titik terang pun didapat, dosen menerangkan kepada kami bahwa berita tersebut tidak termasuk ke dalam karya jurnalistik. Artikel tersebut adalah murni artikel kompasiana, yang memang berbau opini, meski ada fakta di dalamnya. Perlu diingat kembali bahwa berita tidak boleh mengandung opini dari sang penulis. Akhirnya kami menyadari kesalahan tersebut, kini kami tahu bahwa tidak semua artikel yang nampak membawa unsur jurnalistik seperti 5W+1H namun ada opini sedikit pun, tetap tidak bisa disebut berita jurnalistik.

Pembahasan

Beralih ke kasus yang akan saya angkat di sini adalah sifat dari jurnalisme online. Jurnalisme online yang digadang-gadang menjadi jurnalisme masa kini yang juga menimbulkan atau melahirkan adanya citizen journalism di dunia jurnalistik, nyatanya memiliki kekurangan yang cukup fatal apabila masih membawa embel-embel jurnalistik di dalamnya. Media massa yang terhitung baru ini rasa-rasanya memiliki kekurangan di bagian ketepatan. Maka dari itu, yang akan saya angkat di sini adalah soal ketepatan pada jurnalisme online. Akurasi nampaknya kerap kali terlupa dalam kasus pemberitaan di jurnalisme online. Mereka (wartawan) media online lebih mementingkan sisi kecepatan atau aktualisasi ketimbang akurasi. Padahal keduanya harus berimbang satu sama lain, agar tidak menimbulkan pertanyaan di bidang jurnalistik.

Jauh sebelum melanjutkan pembahasan, sebaiknya kita lihat lagi karakteristik-karakteristik yang dibangun dari jurnalisme online atau media online ini. Berikut gambarannya (Iskandar&Lestari, 2016: 29-30):

  • Unlimited Space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin, tanpa batas
  • Audience Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi
  • Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus membaca secara berurutan
  • Storage and Retrieval. Jurnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa diakses kembali dengan mudah kapan dan di mana saja
  • Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsung
  • Multimedia Capability. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus
  • Interactivity. Jurnalistik online memungkinkan interaksi antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing

Setelah melihat unsur atau karakteristik dari jurnalistik online, memang tak terlihat sedikit pun membahas akurasi. Jurnalisme online lebih banyak berbicara tentang kecepatan dan kecanggihan yang dimilikinya. Cepat belum tentu tepat, begitulah yang kira-kira bisa saya gambarkan perihal jurnalisme online. Keberadaan media online yang mengalahkan keberadaan media cetak dan penyiaran, rasa-rasanya juga patut dikritisi. Media cetak dan penyiaran dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk tetap bangkit karena jurnalisme online masih belajar dalam tahap akurasi atau ketepatan. Media cetak yang lebih menekankan pada isi kedalaman suatu berita, tidak dimiliki oleh jurnalisme online.

Kecepatan dan percepatan telah menyeret jurnalisme ke dalam pusaran kompetisi global, dan di sinilah lidah api kapitalisme menyambar dan membakar jurnalisme, berita sebagai unsur atau pilar pokok atau inti dari jurnalisme menjadi komoditas (Iskandar&Lestari, 2016: 29). Sebuah kalimat yang begitu mengena dan menyerang jurnalisme online dari segala lini. Mulai dari wartawan sebagai pilar utama dari lahirnya sebuah berita, lalu ke media tempat ia bekerja, serta siapa pemilik perusahaan media tersebut. Semua pihak dapat dilibatkan dan dipertanyakan. Lagi-lagi kita harus merasa sedih sebagai masyarakat yang seharusnya mendapatkan berita atau informasi yang benar, jujur, malahan mendapat berita-berita yang entah benar atau tidak. Ini semua karena unsur ketepatan yang dikesampingkan. Kaidah jurnalistik yang luhur itu rasa-rasanya dilupakan dan kalah oleh adanya kapitalisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline