Lihat ke Halaman Asli

Nicolas Dammen

Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

Hak Imunitas Dokter dan Legitimasinya

Diperbarui: 2 Februari 2024   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Resiko berhadapan dengan hukum adalah jenis resiko tertinggi yang berpotensi dihadapi setiap orang dalam menjalankan profesinya. Profesi pengacara dan notaris sekalipun, yang sehari-harinya bekerja dalam bidang hukum akan pusing jika dirinya terseret kasus hukum dalam menjalankan profesinya. Setiap profesi lalu memiliki majelis kehormatan yang memeriksa dugaan pelanggaran disiplin profesi. Memang seyogianya yang berwenang menilai pelanggaran disiplin profesi adalah dari unsur organisasi profesi itu sendiri, meskipun tak jarang legitimasinya sering dipertanyakan karena akan ada anggapan saling melindungi sesama anggota seprofesi, namun terlepas dari hal tersebut, disitulah letak tantangan bagi setiap majelis kehormatan profesi untuk menjaga integritasnya supaya legitimasinya di masyaratkat diakui.

Dalam praktik kedokteran, sejak Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) disahkan telah dibentuk suatu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Namun sayangnya, saat itu regulasi justru tidak memberi hak imunitas bagi dokter, sehingga dokter dalam waktu bersamaan bisa diserang dari berbagai sisi hukum, baik pidana maupun perdata. 

UU Praktik Kedokteran tetap memberi peluang bagi Pasien dan keluarganya untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan meskipun proses di MKDKI berlangsung. Proses hukum dan proses di MKDKI seakan-akan dua proses yang terpisah dan tidak berkesinambungan dengan penegakan hukum. Dalam Pasal 79 ayat (4) Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 50 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi yang menyatakan putusan mengenai pelanggaran disiplin Dokter dan Dokter Gigi, tidak merupakan alat bukti di bidang hukum pidana dan perdata. Justru beberapa putusan hakim dalam pertimbangannya memberi imunitas bagi profesi dokter dengan menolak gugatan pasien dengan alasan belum ada putusan MKDKI yang menyatakan dokter bersalah.

Hak imunitas bagi profesi dokter baru benar-benar secara sistematis diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Padahal undang-undang ini awalnya mendapat penolakan keras dari berbagai organisasi dokter. Pasal 308 menyebutkan bahwa Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 yaitu Majelis yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. 

Rekomendasi tersebut berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Pemberian rekomendasi tersebut diberikan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima, dimana apabila majelis tidak memberikan rekomendasi dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka majelis dianggap telah memberikan rekomendasi untuk dapat dilakukan penyidikan atas tindak pidana atau tuntutan perdata.

Ditinjau dari sisi kepentingan tenaga medis dan tenaga kesehatan, UU Kesehatan telah cukup memberi imunitas profesi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Sementara dari sisi pasien dan aparat penegak hukum, prosedur penyidikan dan penuntutan secara pidana maupun perdata terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan yang diatur dalam UU Kesehatan kemungkinan akan dianggap mempersulit masyarakat pencari keadilan yang merasa haknya dirugikan dalam praktik kedokteran. 

Hal ini dapat menjadi alasan pengujian UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi bagi dari masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan prosedur penyidikan dan penuntutan secara pidana maupun perdata terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, maupun dari aparat penegak hukum sendiri seperti yang dilakukan oleh Persatuan Jaksa Indonesia yang melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) di Mahkamah Konstitusi (MK) yakni mengenai prosedur pemanggilan pejabat notaris oleh aparat penegak hukum yang harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Kehormatan Notaris.

Terlepas dari perdebatan prosedural tersebut di atas, setiap profesi yang dijalankan dengan itikad baik tentulah haruslah dilindungi oleh hukum. Apalagi tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis dengan dibantu oleh tenaga kesehatan adalah suatu upaya pelayanan kesehatan kepada Pasien dengan mengusahakan upaya terbaik yang tidak menjamin keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan tersebut. Upaya terbaik yang dimaksud adalah dilakukan sesuai dengan norma, standar pelayanan, dan standar profesi serta kebutuhan kesehatan pasien. 

Oleh karena itu, MKDKI atau majelis yang memeriksa pengaduan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan akan memeriksa apakah suatu tindakan medis telah mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Apabila tenaga medis dan tenaga kesehatan telah mengikuti dan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional dalam melakukan tindakan medis namun pasien tidak sembuh atau bahkan justru meninggal, maka kejadian tersebut dianggap sebagai suatu resiko medis yang membebaskan tenaga medis dan tenaga kesehatan dari segala tanggungjawab.

Pentingnya peran dan kewenangan majelis disiplin profesi dalam menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan menyisahkan persoalan integritas dan legitimasi. Pasal 307 UU Kesehatan telah memberi ruang peninjauan kembali atas putusan majelis disiplin profesi dalam hal ditemukan bukti baru, kesalahan penerapan pelanggaran disiplin dan terdapat dugaan konflik kepentingan pada majelis pemeriksa dan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang diperiksa. Ketentuan ini tentu saja menjadi alternatif untuk menjaga integritas majelis disiplin profesi. Terjaganya integritas akan melegitimasi kedudukan majelis disiplin profesi sebagai lembaga yang dipercaya bukan hanya oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan melainkan juga oleh pasien dan aparat penegak hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline