Sebagian orang mungkin bingung dan bertanya-tanya mengenai maksud "nasional(is)me". Ya, mungkin hal itu masih terdengar cukup asing di telinga kita.
"Nasional(is)me" adalah sebuah film pendek yang diproduksi pada Oktober 2020 lalu. Film tersebut berhasil membuat saya tersentuh dengan berbagai suguhan adegan di dalamnya yang cukup membuat saya tergelitik. Bagaimana tidak? Film yang saya rasa hanyalah sebuah film biasa dan sederhana, ternyata mampu menyajikan sebuah hal luar biasa di dalamnya.
Film pendek yang disutradarai oleh Zaky Fachriansyah ini, dapat dengan mudah kita cari di Youtube. Awalnya saya menemukan film ini tanpa adanya unsur kesengajaan. Kurang lebih 3 hari yang lalu dari tulisan ini dibuat, saya sedang mencari sebuah film untuk objek analisis dari salah satu mata kuliah saya. Namun, ketika menonton film ini saya mendapatkan lebih dari sekedar nilai pemenuhan tugas.
Setelah saya cari tahu lebih dalam, film yang hanya berdurasi 5 menit ini ternyata adalah film yang sengaja diproduksi untuk mengikuti perlombaan dari BNPT Video Festival V (BvifestV). Bahkan saya berpikir film ini akan berada di jajaran pemenang nantinya.
Dengan durasi yang dapat dikatakan cukup singkat, namun saya merasa isi dari film ini digambarkan dengan sangat baik dan kompleks. Salah satunya adalah mengenai rasa nasionalisme.
Menurut Hara (2000) dalam Kusumawardani, A & Faturochman (2004), nasionalisme mencakup konteks yang lebih luas yaitu persamaan keanggotaan dan kewarganegaraan dari semua kelompok etnis dan budaya di dalam suatu bangsa. Dengan definisi singkat itu pernahkah kita bertanya, "apakah kita nasionalis?"
Pertanyaan itu sebenarnya kurang tepat ditujukan pada generasi penerus bangsa seperti kita, yang sudah seharusnya tentu nasionalis. Tapi, nyatanya tidak dapat ditutupi bahwa rasa nasionalisme yang pernah membara dalam Hari Kemerdekaan maupun Sumpah Pemuda itu, seolah mulai pudar di masa sekarang ini.
Pernahkah kita sebagai satu bangsa Indonesia masih mengelompokkan saudara kita dalam bilik-bilik SARA maupun perbedaan yang ada? Jika iya, sepertinya kita belum memiliki rasa atau jiwa nasionalisme yang besar.
Semacam sebuah sindiran yang ditunjukkan dalam film ini adalah ketika Hasyim menanggapi pernyataan Martin yang tidak suka bertemu dengan "Orang Cina". Martin menjelaskan bahwa ia menilai "Orang Cina" adalah orang yang pemarah. Dengan santai Hasyim pun menjawab dengan bahasa daerahnya "Ndak boleh begitu, Jangan suuzan (berprasangka buruk)."
Namun sebuah pembelajaran sederhana mampu membuat Martin akhirnya sadar, bahwa apa yang ada di pikirannya ternyata keliru. Dalam sebuah sesi perbincangan yang mana mempertemukan tokoh Koh Apui, Martin, dan Hasyim mampu mengubah pandangan yang selama ini mungkin tidak terpikir oleh beberapa orang.