"Tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka juga bisa diajarkan untuk mencintai."*
--- Nelson Mandela
Pengalaman hidup sering kali mengajarkan kita sesuatu yang tak bisa didapatkan di bangku sekolah. Begitu pula yang saya alami selama beberapa hari tinggal di Pondok Pesantren Al-Marjan. Pengalaman ini bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga memberi perspektif baru tentang hidup, keberagaman, dan arti kebersamaan yang sesungguhnya.
Kehangatan dalam Kesederhanaan
Saat pertama kali tiba, kesederhanaan pesantren langsung terasa. Fasilitas yang terbatas, asrama yang sederhana, dan makanan yang jauh dari mewah adalah bagian dari keseharian mereka. Namun, di balik keterbatasan ini tersimpan kehangatan dan kebersamaan. Para santri berbagi makanan dalam satu piring, bukan karena tidak ada pilihan, tetapi karena itulah bentuk penghargaan terhadap kebersamaan.
Saya menyadari bahwa kebahagiaan sejati mereka bukan datang dari materi, tetapi dari rasa syukur dan cinta yang tercipta melalui interaksi sederhana. Ini menjadi pelajaran penting bagi saya tentang arti kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tulus. Mereka memaknai persaudaraan yang kental, tidak ada yang mulai makan lebih dahulu sebelum semuanya hadir dan siap untuk makan.
Mengajar di Pesantren
Saya diberi kesempatan untuk mengajar santri yang masih SMP, dan pengalaman ini menjadi salah satu momen paling berkesan. Di awal, ada perasaan cemas --- takut mereka tidak menerima saya, seorang pendatang dengan latar belakang berbeda. Namun, antusiasme para santri menghapus semua kekhawatiran saya. Mereka menyambut dengan ramah dan penuh semangat, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. Selalunya saya lah yang diajar bukan sebaliknya, saya pun tersadar bahwa ternyata menjadi guru tidaklah mudah.
Kami berbincang tentang cita-cita dan impian mereka. Beberapa santri ingin menjadi ulama, ada yang ingin menjadi tentara, bahkan ada yang bermimpi menjadi guru. Meskipun hidup sederhana, mereka memiliki tekad yang luar biasa untuk mencapai impian mereka. Dari sini saya belajar bahwa mimpi tidak terbatas pada kondisi ekonomi, melainkan pada kemauan dan usaha yang keras.
Keberagaman yang Memperkaya