Pemberian gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada Raffi Ahmad oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand baru-baru ini menggemparkan masyarakat luas dan memicu perdebatan sengit, khususnya di media sosial. Banyak pihak mempertanyakan dasar pemberian gelar ini, mengingat gelar doktor selama ini dipandang sebagai simbol prestasi akademis tinggi yang hanya diberikan kepada individu dengan jasa atau kontribusi luar biasa dalam ilmu pengetahuan maupun masyarakat.
Gelar tersebut, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980, seharusnya melambangkan kontribusi yang signifikan dalam bidang akademik. Namun, keputusan UIPM dianggap kontroversial karena Raffi Ahmad lebih dikenal sebagai selebriti dan pembawa acara yang dianggap tidak memiliki kontribusi yang cukup dalam dunia akademik atau ilmiah.
Keputusan ini turut mendapat tanggapan dari sejumlah pengamat pendidikan yang memiliki beragam pandangan. Beberapa dari mereka mendukung langkah UIPM dengan alasan bahwa Raffi telah memberikan dampak positif di dunia hiburan dan mampu menginspirasi generasi muda.
Di sisi lain, tidak sedikit yang merasa bahwa penghargaan tersebut justru merendahkan nilai gelar akademis di Indonesia. Hal ini memunculkan keraguan mengenai apakah popularitas semata bisa dijadikan landasan pemberian gelar kehormatan.
Publik semakin mempertanyakan kredibilitas UIPM setelah seorang warganet menemukan bahwa institusi ini tidak berbasis di kampus, melainkan di sebuah hotel. Temuan ini menimbulkan keraguan lebih lanjut tentang kapasitas UIPM sebagai lembaga pemberi gelar doktor kehormatan, terutama terkait dengan kelengkapan fakultas, dosen tetap, dan Guru Besar yang sesuai dengan bidang ilmu yang relevan dengan penghargaan tersebut.
Fenomena pemberian gelar kehormatan kepada tokoh populer seperti Raffi Ahmad sangat berbeda dengan praktik yang diterapkan di negara-negara maju. Di negara-negara seperti Swedia, gelar honoris causa diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi besar di bidang akademik, sosial, atau kemanusiaan.
Para penerima gelar tersebut tidak hanya dikenal luas, tetapi juga dihormati karena kontribusi intelektual dan sosial mereka yang signifikan. Dalam konteks ini, di Indonesia, popularitas di mata publik sering kali lebih dihargai daripada substansi atau kontribusi konkret.
Sebagai perbandingan, di Inggris, selebriti yang mendapatkan gelar kehormatan adalah mereka yang telah menunjukkan dampak yang nyata di bidang sosial atau amal. Contohnya adalah Emma Watson, yang mendapatkan gelar doktor karena perannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Pemberian gelar tersebut mencerminkan penilaian yang lebih ketat terhadap kontribusi seseorang di masyarakat.
Di Indonesia, kasus Raffi Ahmad memperlihatkan bahwa kriteria pemberian gelar ini tidak selalu jelas, menciptakan kesan bahwa popularitas dapat mengalahkan suatu substansi.
Bayangkan seorang guru yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya di pelosok terpencil, mengajar tanpa fasilitas yang memadai, dan sering kali menggunakan biaya pribadinya demi keberlangsungan pendidikan anak-anak di sana. Ia berjuang di tengah keterbatasan, jauh dari gemerlap perhatian publik, hanya berbekal keyakinan bahwa pendidikan dapat mengubah nasib anak-anak desa tersebut.
Ketika akhirnya ia menerima gelar doktor honoris causa, penghargaan itu seolah menjadi pengakuan yang terlambat atas pengorbanannya yang sunyi selama bertahun-tahun. Ironisnya, di dunia yang lebih banyak menghargai ketenaran daripada kerja keras tanpa pamrih, penghargaan ini mencerminkan betapa jarangnya kontribusi nyata mendapat sorotan yang layak dalam masyarakat.