Lihat ke Halaman Asli

Kolese Kanisius Oase Pembentukan Karakter

Diperbarui: 19 September 2024   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung sekolah SMA Swasta Kanisius Jakarta (Dok: SMAS Kanisius Jakarta)

Perubahan zaman terjadi begitu cepat, lambat laun nilai-nilai pendidikan pun semakin tergerus. Nilai integritas dan kedisiplinan mulai terasa tak akrab lagi di telinga para pelaku pendidikan.

Kolese Kanisius sebagai institusi pendidikan berusaha menanamkan juga memupuk nilai-nilai tersebut melalui berbagai kebijakan yang dibuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan tidaklah melulu tentang nilai dan prestasi akademis saja. Pada masa sekarang, kejujuran adalah sesuatu yang telah menjadi langka. 

Tidak sering kita melihat tindakan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah kejujuran adalah suatu hal yang sulit dan menyusahkan. Tidak sedikit pelajar yang mengabaikan nilai integritasnya demi memperoleh secuil angka tak bermakna. Memperbolehkan mencontek sama saja dengan mendukung ketidakjujuran untuk semakin menggerogoti tunas bangsa. 

Kualitas pendidikan tidak hanya berupa angka dan teks mati, tapi juga berasal dari nilai individu yang sama pentingnya. Nadiem Makarim (Mendikbudristek) juga pernah mengatakan bahwa pendidikan karakter khususnya penanaman nilai-nilai kejujuran dan integritas harus dilakukan sedini mungkin. 

Salah satu kebijakan tersebut adalah sekali menyontek maka akan langsung dikeluarkan tanpa pertimbangan dan toleransi apapun. Bagi sebagian kebijakan ini tegas dan cukup kejam, tetapi bagi sebagian yang lain kebijakan ini memberikan secercah harapan, akan adanya generasi masa depan yang menjanjikan. Kebijakan tersebut sudah diberlakukan sejak tahun 2000, sebagai bagian dari usaha mereformasi pendidikan dalam menghadapi era globalisasi yang kian merubah nilai-nilai kehidupan.

       Kedisiplinan yang tinggi tidak hanya mencerminkan komitmen terhadap aturan, tetapi juga memperkuat kejujuran dan integritas dengan memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan tetap konsisten dengan nilai-nilai moral yang dijunjung. Kolese Kanisius mengembangkan karakter siswa yang berintegritas, tidak hanya nilai kejujuran saja, tetapi juga nilai kedisiplinan. Hal ini dicerminkan dari bagaimana ketatnya peraturan waktu keterlambatan siswa yaitu 5 menit sebelum jam masuk harus sudah datang, jika tidak maka dinyatakan terlambat. 

Sanksi yang diberikan pun tak main-main, tak kalah mengerikan dengan sanksi jika menyontek sebelumnya. Jika siswa terlambat masuk, maka akan diberikan 1 poin pelanggaran. Apabila terlambat 3 kali berturut-turut, siswa akan menerima Surat Peringatan Pertama (SP 1), dan orang tua siswa yang bersangkutan akan dipanggil oleh pihak sekolah. Surat pemanggilan tersebut tentu memiliki implikasi terhadap hal lain, seperti tidak dapat menerima apresiasi siswa baik akademik dan non akademik, dan tentunya menjadi pertimbangan negatif dalam kenaikan atau kelulusan sang siswa.

Bukti nyata dari keberhasilan pendidikan ala Kolese Kanisius ini dapat dilihat dari ranking nasionalnya yang tak pernah turun dan selalu bertengger di 10 SMA terbaik se-Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan karakter dapat berjalan beriringan dan berdampingan dengan pendidikan nilai akademis. 

Sebab itu, karakter seorang siswa yang terpelajar seharusnya menunjukan nilai integritas dan kedisiplinan dalam wujud konkrit. Prestasi akademis tersebut menunjukan siswa yang disiplin dalam belajar dan nilai intergritas ditunjukan melalui kejujuran dalam mengerjakan suatu tugas atau ulangan. Disaat banyak sekolah yang berlomba-lomba dan "mendewakan" pemeringkatan nasional, Kolese Kanisius tetap pada pendiriannya. 

Siswa yang menerima pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai akademis ibarat katak dalam tempurung. Siswa tersebut akan mengalami kesulitan menerima fakta bahwa di dunia nyata, di luar sekolah, pelajaran akademis acap kali tak terlalu penting dalam kehidupan sosial apalagi profesional. Hal tersebut bukanlah kesalahan sang siswa, melainkan terkadang justru sekolah yang membatasi dan melupakan makna esensial dari kata "guru" itu sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline