Mengingat kembali saat Desember 1995 yang lalu saya pulang ke rumah di Jakarta dan bermaksud merayakan Natal bersama keluarga setelah menghabiskan satu semester sekolah di dareah Jawa Tengah. Membayangkan suasana Natal di rumah seperti yang sudah biasa saya rasakan sejak kecil merupakan sesuatu yang menyenangkan setelah 6 bulan berpisah dari keluarga. Maklum baru pertama kali merantau. [caption id="attachment_210836" align="alignright" width="225" caption="Foto dipinjam dari: http://sorenja.blogspot.com"][/caption] Namun maksud hati merayakan misa malam Natal bersama keluarga tapi apa daya bila Tuhan berkata lain. Malam Natal indah bersama keluarga yang saya tunggu-tunggu ternyata tidak bisa saya rasakan karena beberapa jam setelah saya tiba di rumah saya merasakan sakit kepala yang tidak tertahankan. Saya coba menguranginya dengan minum obat dan tidur. Namun ternyata sampai dengan sore hari dan kemudian berganti malam keadaan saya semakin memburuk sehingga pada akhirnya saya tidak bisa ikut ke gereja mengikuti misa malam natal bersama seluruh keluarga. Sendirian di rumah dalam keadaan sakit membuat saya sedih. Ketika mereka pulang dengan membawa buah tangan pun saya tidak bisa ikut menikmatinya karena rasa pahit yang saya rasakan setiap kali menelan makanan. Ketika semua orang di rumah sudah terlelap tidur saya sendiri tidak dapat memejamkan mata. Tubuh saya terasa sangat panas dan saya terus berkeringat sampai-sampai ibu saya membantu menggantikan baju saya sampai 3 kali. Pada akhirnya saya bisa tidur menjelang dini hari. Namun rupanya rangkaian kejadian malam itu belum selesai. Saat saya ingin buang air kecil, tanpa saya duga, ketika saya akan turun dari tempat tidur, kaki saya tidak sanggup menahan beban tubuh saya. Akhirnya tubuh saya melorot jatuh di samping tempat tidur. Saya kemudian memanggil ayah saya untuk membantu (menggendong) saya ke kamar mandi. Ayah saya belum menyadari kondisi saya sesungguhnya dan menganggap saya ingin bermanja-manja dengannya karena 6 bulan tidak bertemu. Ketika saya kembali ke tempat tidur ayah sepertinya menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dan ternyata memang rentetan kejadian hari itu berakibat nyata pada hari berikutnya karena ternyata ada hal tak terduga terjadi pada pagi harinya. Seolah tak percaya, tapi kenyataan yang saya alami waktu itu adalah saya tidak dapat melangkahkan kaki lagi, bahkan untuk sekedar berdiri tegak saja saya tidak sanggup. Dan yang lebih parah adalah saya tidak bisa lagi menggunakan kedua tangan saya untuk memegang apapun. Seolah tidak ada daya sama sekali walaupun saya sangat ingin melakukannya. Kegiatan sederhana seperti memegang pensil, alat makan, dsb sudah tidak dapat saya lakukan lagi.Entah apa sebabnya dan sakit apa yang saya derita waktu saya sampai sekarang tidak tahu. Tapi yang jelas saya tidak dapat lagi beraktifitas seperti biasa dan kemungkinan besar saya tidak dapat kembali sekolah. Singkat kata, bermacam cara dilakukan untuk menyembuhkan saya, mulai dari minum bermacam jamu sampai pijat rekfleksi dan pengobatan alternative. Penanganan medis modern tidak saya lakukan karena pertimbangan biaya. Semua cara itu hanya membuahkan sedikit kemajuan pada kesehatan saya sehingga kesehatan mental saya juga ikut menurun. Saya pun bertanya-tanya dalam hati apakah ini adalah akhir dari semuanya. Memasuki masa prapaskah tahun 1996 dengan sedikit harapan tersisa saya coba merenungkan kembali hikmah yang tersirat di balik peristiwa tersebut dan saya coba menata kembali langkah yang harus saya ambil supaya saya tidak terus larut dalam keputusasan. Sampai pada akhirnya saya menetapkan untuk bangkit dan bertekad menjadikan hari raya paskah tahun itu sebagai hari istimewa dalam hidup saya. [caption id="attachment_210835" align="alignleft" width="290" caption="Foto dipinjam dari: http://palacipa.com"][/caption] Hal pertama yang saya lakukan adalah berpasrah diri pada kehendakNya sambil terus melanjutkan pengobatan yang saya jalani. Dan entah mendapat ilham darimana, lebih kurang 10 hari menjelang hari raya Minggu Palma, saya mulai doa rosario setiap 3 jam. Jadi setiap hari pada jam 6 pagi, 9 pagi, 12 siang, 3 sore, 6 sore, dan 9 malam ditambah terkadang jam 12 malam, saya mengambil masing-masing 1 peristiwa (gembira/sedih/mulia) untuk didoakan sambil memohon kesembuhan. Dan mulailah terjadi sesuatu yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Ujung ibu jari kaki saya mulai dapat saya gerakkan dan menyusul seluruh jari yang ada setelah sebelumnya hanya bisa saya pandangi dan tidak berdaya saya perintahkan untuk bergerak. Dan puji Tuhan, akhirnya pada hari raya Minggu Palma saya sudah bisa berangkat ke gereja bersama keluarga dan seterusnya mengikuti pekan suci walaupun dalam kondisi yang belum 100% pulih. Itulah hadiah Paskah paling berkesan yang saya terima sepanjang hidup saya. Pada akhirnya saya bisa kembali melanjutkan sekolah di Jawa Tengah dan secara ajaib pula saya bisa berangkat sendiri ke sana tanpa ditemani oleh orang tua. Sampai dengan hari ini, apalagi apabila saat paskah menjelang, saya selalu teringat kejadian itu dan selalu menjadikannya cermin atas apa yang sudah saya lakukan setiap tahunnya. Permenungan yang saya dapatkan adalah bahwa Bunda Maria memang selalu ada dan siap sedia menjadi perantara berkat untuk membantu kesulitan hidup yang kita alami asalkan kita mau berserah diri pada Tuhan dan memohon. Seperti yang diteladankan Bunda sendiri sepanjang hidupnya. Semoga bermanfaat.. ------------ Jika berkenan komentarin tulisanku yah.. Sukur-sukur ngasi vote..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H