Lihat ke Halaman Asli

N.P. KADIR

* Ph.D. Candidate * * Civil Engineer *

Penyediaan Air Minum Perpipaan, Pertentangan Kelas, dan Piala Oscar

Diperbarui: 2 Maret 2020   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pekerja membawa galon minuman air minum dengan saling diikat di atas sepeda motor di Jalan Raden Inten, Jakarta Timur, Senin (16/1/2012). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Setelah dua puluh tahun lebih kerjasama Jakarta, air perpipaan yang layak diminum tidak tercapai. Mengkhianati konstitusi tentu terjadi karena  UUD 1945 menganut "Public Trust Doctrine" sementara sumber daya air dan air minum adalah Common-Pool Resource. Praktis Air sebagai barang public menjadi barang private ketika pemilik modal PALYJA dan AETRA yang paling menikmati keuntungan ekonomi. Padahal air minum perpipaan bukan barang private yang keuntungannya bisa dinikmati oleh sekelompok orang (PALYJA dan AETRA) karena jaringan distribusi nya melewati property milik public atau individu (Melewati Jalan Nasional, Jalan Provinsi, dan Jalan Kabupaten). Akses publik  terhadap perpipaan yang di tanam dijalan umum hanya di batasi oleh hukum negara. PALYJA dan AETRA tidak bisa membuat hukum.

Pelanggan Air Minum perpipaan dapat di bagi menjadi dua bagian berdasarkan kemampuan membayar dibawah dan diatas ongkos produksi dan maintenance yaitu Kalangan bersubsidi dan kalangan non-subsidi. Kalangan bersubsidi yang umumnya miskin tidak dapat menikmati air diminum dengan harga subsidi. Harapannya adalah dengan air yang dapat diminum keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan dapat hidup lebih sehat sehingga dapat meningkatkan produktifitas ekonominya. Meningkatnya produktifitas ekonomi dari kelompok bersubsidi memberikan harapan kepada generasi kedua dan generasi ketiga dari kelompok ini untuk memperbaiki tahap ekonomi. Secara kolektif berdampak jangka panjang bagi ekonomi Negara. Sebaliknya, gagalnya penyediaan  air minum perpipaan berkontribusi terhadap membesarnya jurang antara kalangan yang berhak di subsidi dan kalangan yang non subsidi. Memperbesar jurang antara Kelas Miskin, Kelas Menengah, dan Kelas Atas. Hampir dua per tiga dari penghasilan kalangan miskin dan seperempat penghasilan kalangan menengah dihabiskan untuk membeli air gallon dengan kualitas yang tidak dapat diukur. 

Secara kolektif berdampak jangka panjang bagi ekonomi Negara. Sebaliknya, gagalnya penyediaan air minum perpipaan berkontribusi terhadap membesarnya jurang antara kalangan yang berhak disubsidi dan kalangan yang non-subsidi. 

Isu mengenai pertentangan the Have dan the Have Not, exploitasi terhadap lingkungan, resonansi-nya terhadap kondisi dunia saat ini sangat relevan. Menggema sampai ke Holywood. Oscar yang belum pernah menerima Film Asing untuk kategori "Best Picture" tak kuasa menolak tinggi-nya rating dan response kritikus untuk tema yang di bawa Bong Joong Ho. Diluar kualitas sinematografi yang benar benar bagus Film Parasite dan Joker memenangi Oscar membawa isu penting ditengah tengah kejenuhan terhadap film holywood yang tidak menawarkan hal yang baru. Para penikmat Film mungkin sudah bosan dengan tema "from Zero to Hero" dan sedikit maju "Hero to Capitalist". Begitu juga dengan Arthur Fleck yang diperankan Joaquin Phoenix sukses memerankan Joker. Pencabutan Subsidi untuk kesehatan dan pengobatan penyakit pseudobulbar affect mengakselerasi kegilaan yang ia derita.

Tema pertentangan dan exploitasi  antar kelas, belakangan ini direspon oleh banyak pihak di luar akademisi (seniman) yang menyadari bahwa jurang si kaya dan si miskin semakin melebar. Pada tahun 2018, Jumlah networth yang dimiliki oleh Jeffrey Preston Bezos mencapai US$ 165 miliar (sekitar Rp 2.500 triliun). Sebaliknya jumlah APBN Indonesia pada tahun yang sama adalah sebesar  Rp 1.894,7 triliun. Begitu pula ketika PALYJA dan AETRA untung bersih tahun 2018 sebesar 298 Milyar dan 317 Milliar pada saat tidak ada air perpipaan yang dapat diminum dari keran secara langsung, secara perlahan akan memperuncing pertentangan antar kelas.

Mengakhiri tulisan ini, meruncingnya gesekan sosial karena exploitasi mungkin sekali mengarah ke jalur anarki.  Paham paham seperti Komunis maupun Kapitalis yang basis ideologinya adalah materi tidak mungkin lagi menjadi jalan karena China-pun sudah tidak sosialis, karena "Erst kommt das Essen, dann kommt die Moral" atau "First food, then morals". Diskursus filsafat politik mulai berubah dari Antroposentris atau manusia sebagai spesies inti (dibanding spesies hewan dan tumbuhan) menjadi Biosentris atau bumi, hewan dan tumbuhan sebagai inti. Sumber sumber ekonomi seharusnya dibagi lebih baik, bumi tetap lestari.

PhD Candidate in Civil Engineering, Universiteit Twente, The Netherlands

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline