Poligami halal secara syariat, namun hingga kini masih menjadi polemik, apalagi dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan isteri.
Manusia pada dasarnya sulit berlaku adil dan condong kepada yang dicintainya, sebagaimana tercermin dalam al Quran surat an nisa' ayat : 129.
" dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Perkawinan Poligami mensyaratkan keadilan. Allah SWT berfirman surat An Nisa' ayat 3.
" maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja." Menurut John Raws keadilan adalah ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Perkawinan poligami melibatkan kepentingan banyak pihak, suami, isteri, anak, calon isteri dan calon anak nantinya. Semua kepentingan tersebut harus diakomodir untuk menghindari berlaku dhalim terhadap pihak tertentu.
Ibnu Taimiyah mendefinisikan keadilan sebagai memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta, tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi, seseorang berhak dimintai pendapatnya sehubungan dengan hajat hidupnya tanpa harus diminta. Suami yang akan menikah lagi sepatutnya meminta pendapat isteri tanpa diminta. Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing akan menghindari perilaku timpang dan berat sebelah. Kejujuran dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan akan berujung pada keharmonisan.
Syariat poligami maupun monogami tidak mensyaratkan izin dari siapapun bagi laki-laki untuk menikah, sehingga poligami diam-diam tetap sah. Perkawinan mensyaratkan adanya saksi sehingga tidak mungkin dapat benar-benar dirahasiakan. Disatu sisi perkawinan poligami diam-diam tetap sah menurut syariah, disisi lain Negara tidak mengakuinya. Undang-Undang Perkawinan mensyaratkan adanya persetujuan dari istri ketika pernikahan poligami terjadi. Tanpa pengakuan Negara, poligami hanya dapat dilakukan secara siri. Pernikahan siri memiliki polemik tersendiri yang seringkali berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Tujuan syariat poligami adalah untuk kemashlahatan dan menghindari mafsadat (kehancuran). Kehidupan rumah tangga berorientasi pembinaan moral dan spiritual, bukan hanya kebutuhan jasmani tetapi merupakan rangkaian ibadah.
Tujuan perkawinan dalam Islam untuk (1) Ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, (2) Mengamalkan ajaran rasulullah (3) Mendapatkan keturunan (4) Mendapatkan kenyamanan (5) Membina rumah tangga yang islami dan menerapkan Syariat (6) Menjaga diri dari maksiat. Baik perkawinan monogami maupun poligami keduanya dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Mewujudkan tujuan tersebut diperlukan keterbukaan dan komunikasi yang baik antara suami isteri. Ketenangan dan kenyamanan tidak akan diperoleh dengan kecurangan dan kebohongan dan pengkhianatan.
Sekalipun sah secara agama, poligami diam-diam tanpa sepengetahuan isteri merupakan salah satu bentuk ketidak adilan dan kekerasan dalam rumah tangga. Isteri yang sepenuhnya tergantung terhadap suaminya baik secara psikis maupun ekonomi berada di posisi sulit, selain tersiksa secara fisik dan psikis, akan terlantar secara ekonomi, ditambah dengan rasa sakit akibat pengkhianatan dipoligami diam-diam. Memanfaatkan ketergantungan isteri yang terpaksa menerima poligami diam-diam merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Suami sebagai kepala keluarga adalah sosok yang bertanggung jawab. Ketika berpoligami, tanggung jawab itu menjadi berlipat ganda. Poligami diam-diam merupakan tindakan pengecut yang mencari aman sendiri. Layaknya membangun benteng pertahanan baru dan sewaktu-waktu berpindah jika keadaan tidak menguntungkan, sementara benteng yang ada dibiarkan hancur. Kepala keluarga yang bertanggung jawab tidak akan berperilaku pengecut. Poligami dilakukan diam-diam dengan dalih menghindari maksiat dan sulit memperoleh pengertian dan persetujuan isteri. Ketika sudah terlanjur diketahui diharapkan akan lebih mudah memberikan pengertian. Seorang suami yang berpoligami diam-diam dipastikan mempertimbangkan kunsekuensi logis dari pilihannya. Resiko terburuk poligami diam-diam adalah konflik yang berkepanjangan dan hancurnya mahligai rumah tangga. Kecurangan dan pengkhianatan akibat poligami diam-diam beresiko perceraian, yang walaupun halal sangat dibenci Allah SWT. Dampak perceraian adalah kerusakan (mafsadat) yang dihindari syariat.