Lihat ke Halaman Asli

KURNIA KAHA

Penulis antologi Debur-Debur Rindu

Premium Bikin Antri Jadi Ndak Umum

Diperbarui: 14 September 2016   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sekitar beberapa minggu yang lalu saya sempat merasa bingung ketika harus keliling-keliling hendak mengisi  premium atau yang sering disebut bensin di pengecer. Bagaimana tidak bingung botol-botol yang biasanya berwarna kuning jernih mendadak berubah menjadi hijau. Dalam pikiran saya, apakah warna premium berubah? Ataukah dicampur dengan oli? Usut punya usut setelah saya berhenti di salah satu pengecer dan mendengar penjelasannya ternyata sekarang pengecer sudah tidak diperbolehkan lagi membeli premium dalam porsi besar atau biasa disebut jerigenan.  Oleh karena itu, pengecer menjual BBM berjenis pertalite.

Waktu itu agak sedikit ragu juga mau mengisi pertalite ke tangki motor karena motor saya belum pernah diisi BBM jenis pertalite. Biasanya hanya diisi BBM jenis premium. Namun dari pada mogok di tengah jalan karena kehabisan BBM akhirnya saya beli juga satu liter pertalite agar sampai di tempat kerja. Setelah sampai di tempat kerja saya iseng-iseng browsing internet untuk mencari tahu apa sih petralite?

Ternyata pertalite adalah sejenis BBM yang diluncurkan Pertamina di akhir Juli 2015 untuk memenuhi Surat Keputusan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 313 Tahun 2013 tentang Spesifikasi BBM RON 90.  Pertalite jika ditinjau dari segi teknologi pembakarannya lebih sempurna dari pada premium karena memiliki RON 90. Dari segi ekonomi harga lebih murah dari pertamax dan lebih mahal dari premium namum lebih bagus pada mesin dibanding Premium. BBM jenis Pertalite tidak disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya mengikuti harga internasional. Dari Segi Polusi, pertalite menghasilkan NOx dan Cox dalam jumlah sedikit. Namun dari Segi Pembuatan masih memiliki kandungan sulfur maksimal 0,05 persen m/m atau setara dengan 500 ppm (http://www.markijar.com/2015/07/5).

Setelah membaca informasi dari laman tersebut saya pun merasa lebih tenang karena pertalite ternyata lebih bagus dari pada premium. Namun harganya sedikit lebih mahal. Di salah satu pengecer sekitar wilayah Kecamatan Batang Jawa Tengah harga pertalite perliter sekitar Rp 8000. Ketika saya ke SPBU, saya pikir di sana pun premium sudah tidak ada. 

Eh ternyata ketika hendak mengisi BBM masih terpampang boks yang bertuliskan premium. Dengan demikian bahan bakar tersebut masih dijual di SPBU. Namun sayangnya untuk membeli BBM jenis premium para pembeli harus benar-benar sabar karena antrian yang sangat panjang. Berbeda dengan deret antrian di boks pertamaks ataupun pertalite. Karena mungkin harga BBM yang murah masih menjadi pilihan bagi masyarakat pengguna kendaraan, saya pun salah satunya. Jadi selama premium masih ada dan harganya lebih murah dari pada BBM lain, maka premium masih menjadi BBM favorit masyarakat.

Lalu, apakah produksi premium memang terbatas? Ataukah ada hal-hal lain yang menjadikan alasan menghilangnya premium di tingkat eceran? Atau adakah rencana pembatasan anggaran subsidi BBM untuk rakyat? Sembari mengantri, pertanyaan-pertanyaan itu pun terus menggelitik di kepala. Namun setelah sampai di depan petugas pengisi BBM saya enggan bertanya mengingat antrian di belakang saya yang masih cukup panjang. 

Akhirnya sambil melaju kendaraan, saya pun berharap mudah-mudahan ada langkah bijak dari pemerintah di balik pembatasan peredaran BBM bersubsidi seperti premium ini. Namun harapan itu sempat pupus juga karena akhir-akhir ini motor saya jadi sering mogok setelah tidak konsisten menggunakan jenis BBM. Jika ketidakkonsistenan dalam penggunaan BBM memang menjadi penyebab sering mogoknya motor, ternyata hilangnya premium di tingkat pengecer dan masih tersedianya premium di SPBU dengan harga yang lebih murah dari BBM lain juga berdampak negatif  karena hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor pemicu ketidakkonsistenan pemakaian BBM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline