Lihat ke Halaman Asli

Niam At Majha

Penikmat Buku dan Penikmat Kopi

Kotak Kenangan

Diperbarui: 4 Januari 2023   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

 

Sebuah penuturan dari seorang teman Nur Hayati Aida. Tak soal berapa lama, juga tak soal seperti apa rupanya, seperti embun yang menetes di pagi hari begitulah kira-kira gambaran kenang dalam sebuah perjalanan. Mungkin tak perlu bertanya dimana dan siapa yang dikenang, tapi bagaimana dalam kenangan yang membuatnya terus-menerus di datangi dan dirindui mebuktikan bahwa ia (tempat itu) menjadi sesuatu yang sangat istimewa.

Banyak cerita yang membalut langkah menuju detik, menit, jam, hari, bulan juga tahun – semua mengkristal dalam luruh yang disebut kenangan. Ia (kenangan) ibarat suluh untuk jalan pulang, sambil mengingat-ingat masa lalu serta secara perlahan mulai beranjak dan mengukir kenangan-kenangan lain yang sama – sama akan menjadi pintu baru untuk melihat sesuatu yang tak pernah diketahui, masa depan.

Seperti itulah adanya, Mathole’ dan Kajen menjadi serupa magnet yang terus saja menyedot perhatian dan kenang bagi orang-oarng yang pernah singgah di dalamnya. Entah, sudah berapa kota yang di tempati atau Negara yang dijumpai – tapi sungguh, Kajen tetap saja mempesona. Dan cerita itu ada di sini, cerita rindu dan kenang dari orang-orang yang pernah bersama-sama menimba kaweruh di Mathole’ – mereka bersama-sama menuang rindu dalam tulis, mengeja kajen dalam sajak, merapal do’a untuk mathole’ lewat puisi, menerka-nerka perubahan dalam bayang. 

Pada siang yang basah itu, melalui percakapan social media seorang kawan satu angkatan meminta saya untuk menulis (ah, lebih tepatnya hanya coretan – karena saya tahu banyak orang yang lebih layak untuk menulis tulisan rindu itu) kenangan atau yang dikenang tentang Mahole’, saat itu saya berfikir lama – karena saya tidak tahu apa yang harus saya tuliskan. Begitu banyak hal yang saya ingat dan begitu banyak kenangan yang tak mungkin saya tuliskan semuanya. Dalam tulisan yang sederhana ini, sebenarnya saya ingin menyapa beberpa hal yang pernah menjadi keseharian saya sewaktu di kajen dan mathole’ – bermula dari cerita tentang cinta yang malu-malu dibawah surat bangku, kisah sarean yang diam-diam menjadi tempat mengais barokah dan kerja keras, canda dalam balutan al-fiah yang di lalar tiap masuk sekolah, tangis di “padang mahsyar” saat bulan rajab datang, haru yang menyeruak kalbu saat menyaksikan beberapa orang guru harus lebih dulu berpulang ker rumahNya, do’a-doa yang dinanti dari para masyayikh, pun rindu dalam balutan jarit dan kebaya. Ah, sunguh – betapa Tuhan sungguh romantis mempertemukan aku, aku dan kita dalam satu samudera ilmu bernama Mathole’.

Kawan-kawan saya yang menulis disini menurut saya sangat berani, betapa tidak – pertama, dengan kualitas tulisan yang tidak bisa dikatakan mengagumkan berani membuat kumpulan puisi untuk dijadikan kado persembahan ulang tahun satu abad Mathole’, kedua, kawan-kawan saya itu pada dasarnya bukanlah sastrawan atau penulis puisi tapi sungguh mereka mau bersusah payah keluar dari rutinitasnya dan membuat satu, dua atau lebih banyak puisi, ketiga; kawan-kawan saya juga berani melawn hegemoni sastra “kriuk” yang selalu mementingkan pasar – pada malam-malam saat tulisan ini dibuat, saya sempat berdiskusi dengan penyunting dalam penyusunan antologi ini – sebenarnya apa yang diinginkan dalam antologi puisi ini? Hanya kumpulan puisi yang bersisi tentang nostalgia atau puisi yang memang punya kualitas sastrawi? Dan jawabannya dalah yang pertama – ini hanya sebatas kotak kenangan yang dapat kita bawa setiap saat, kotak kenagan yang setidaknya mampu menghibur hati bagi siapa saja yang tak bisa hadir dalam perayaan gegap gempita seabad Mathole’. Keempat; tentunya adalah apresaiasi saya pada kawan-kawan saya itu, yang telah mampu leewati apa yang telah saya sebutkan tiga diatas. 

Bagaimanapun ungkapan cinta dalam rindu itu tak pernah dapat disalahkan, toh, semua berpulang pada pemilik rasa. Meski banyak pembaca mungkin tak dapat menemukan “rasa” apa yang penulis rasakan. Seperti yang kita maklumi, bahwa teks adalah kuasa yang pembaca. Selamat membaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline