Pagi yang dingin di selatan Jogja, seketika menghangat, ketika mentari muncul dari balik gunung. Mentari yang sama, di tempat yang sama. wangi tanah yang basah, kabut pagi, gemericik air sungai, suara burung, langit biru, dan rengekan binatang-binatang ternak yang lapar,…semuanya.
Ya, semuanya. Semuanya seolah mengembalikan semua memori masa kecilku. di tempat ini, di tanah ini. Tanah kelahiranku.
Aku diboncengi motor tua pak’lek-ku, menyusuri jalanan desaku yang berada di lereng gunung. Sepanjang perjalanan kepalaku menoleh, ke-kanan, ke-kiri…iseng iseng mengamati perubahan—meski nyaris tak ada yang berubah. ada rasa haru, sekaligus sedih.
Desaku masih miskin.
Dari jauh, kulihat anak-anak SD yang pulang dari sekolah. Mereka berjalan kaki, menjejaki setapak demi setapak jalanan yang menanjak. Sepatu yang seharusnya dikenakan, dimasukan kedalam tas. Maklum, mereka takut sepatu akan rusak jika keseringan dipakai naik turun gunung setiap hari. Di usia yang cukup dini, mereka dipaksa mengerti keadaan. Ya, mereka harus hidup prihatin, mengingat ayah mereka kebanyakan bekerja sebagai petani yang tak bisa membelikan sepatu setiap saat.
Setelah resmi pindah dari tempat ini sepuluh tahun yang lalu, Pulang kampung ke tanah kelahiranku di Desa Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Jogjakarta ini selalu jadi hal yang kutunggu-tunggu. Rasa kangenku pada simbok--panggilan yang dibahasakan ibuku untuk memanggil nenek, jadi alasan lain, selain karena aku juga sangat mencintai tempat ini. Yeaah, meski aku juga yakin, masih ada alasan lain lagi bagiku untuk selalu rindu tempat ini.
Satu jam perjalanan berlalu, Motor kami tak lagi menanjak, kini sudah melewati jalanan datar.
Aku memilih berjalan kaki, karena rumah simbok sudah tak jauh, lagipula aku ingin menikmati pemandangan.