180 Derajat
“Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”
[caption id="" align="aligncenter" width="864" caption="Ekspedisi Mahameru 2014 (Foto: Faizal Abdillah)"][/caption]
Masih ingat perkataan Soekarno di atas? Ketika membacanya, saya selalu ingat dengan seorang teman yang berasal dari Ketawangrejo, sebuah desa kecil di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Usahanya untuk memajukan desa tempat kelahirannya membuka mata saya lebar-lebar bahwa tidak berguna berapapun uang yang kita miliki, jika tidak berbuat sesuatu untuk sesama, itu hanya kesia-siaan semata.
Namanya Faizal Abdillah, seorang mahasiswa jurusan bisnis di salah satu Institut terkemuka di Bandung. Faizal adalah salah satu penerima beasiswa Bidik Misi di kampusnya. Dulu, pemuda berusia 19 tahun ini cukup aktif di beberapa kegiatan kampus seperti extrakulikuler modern dance dan kegiatan pecinta alam. Faizal juga terkenal cerdas, ia cukup cepat dalam memahami materi perkuliahan. Hal ini terbukti dengan nilainya yang terbilang cemerlang dan pencapaiannya diterima sebagai mahasiswa beasiswa di kampus terkemuka. Faizal juga sempat mengikuti kelas percepatan selama setahun sewaktu SMA.
Sebelumnya mimpi besar Faizal dalam hidup adalah menjadi penakluk gunung-gunung tertinggi di Indonesia. Namun, kecintaan dan orientasi hidupnya itu berubah 180 derajat ketika ia bertemu salah seorang teman yang kini menjadi pendiri Komunitas Iket Sunda. Terinspirasi dari temannya ini, ia menyadari bahwa Indonesia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk perbaikan diri dan pergerakannya harus di mulai oleh pemuda. Pemuda harus sadar bahwa kecintaan terhadap negeri harus tumbuh bersama usahanya dalam menggapai mimpi.
Mendirikan KI Jawa
[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Bersama Keluarga Komunitas Iket Jawa (Foto: Faizal Abdillah) "][/caption]
Menyadari semakin tipisnya kecintaan pemuda terhadap budaya, Faizal mendirikan sebuah komunitas yang mengajak para pemuda untuk berperan aktif memajukan desa serta kembali mencintai budaya Indonesia. Komunitas Iket Jawa atau biasa disingkat KI Jawa adalah komunitas yang memiliki dua basis kegiatan yaitu bisnis dan budaya. KI Jawa yang diketuai oleh Faizal dan masyarakat desa Ketawangrejo bersinergi untuk menggerakan perekonomian desa. Usaha perbaikan ekonomi ini dilakukan melalui dua proyek yaitu Proyek Desa Wisata Ketawangrejo dan Pengembangan Produk Oleh-Oleh Khas Ketawangrejo. Fokus KI Jawa yang lain adalah menyadarakan pemuda pentingnya mencintai budaya. Hal ini dapat tercermin dalam kegiatan KI Jawa yang memodernkan iket yaitu mengajak para pemuda untuk menggunakan iket dalamkegiatan sehari-hari. Hal ini telah dimulai dari mengajak pemuda pemudi desa, mahasiswa, aparatur desa hingga karyawan di kantor kabupaten untuk memakai iket dalam keseharian mereka.
Saat ini ,KI Jawa telah memiliki 700 anggota yang tersebar di Bandung, Jakarta, Jogja, Solo, Surabaya dan Semarang. Untuk memudahkan komunikasi sesama anggotanya, KI Jawa membuat sebuah grup dan fanpage di facebook sebagai forum diskusi dan aspirasi.
Iket Saat Kuliah = Teguran Dosen
[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Gaya Berbusana Faizal di Kampus (Foto: Faizal Abdillah)"][/caption]
Usaha Faizal untuk memodernkan iket bukanlah hal yang mudah dan tanpa hambatan. Iket adalah produk kebudayaan yang masih asing di masyarakat saat ini. Tidak seperti batik yang sudah mulai dicintai dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari, penggunaan iket masih jarang dan masih terkesan aneh. Kecintaan Faizal terhadap iket sudah begitu mendalam. Ia selalu menggunakan iket dalam kegiatannya. Termasuk saat kuliah.
[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Teman sekelas yang tertarik untuk memakai iket (Foto: Faizal)"][/caption]
Teman seangkatan sudah mengenal Faizal sebagai empunya iket. Berawal dari hanya bertanya “Iket itu apa?" " Cara membuatnya bagaimana ya?" "Bagaimana cara memakainya?” Akhirnya teman seangkatan Faizal sudah maklum dengan gaya berbusana Faizal yang menggunakan iket sebagai aksesoris di kepalanya. Bahkan mereka juga mulai tertarik untuk menggunakan iket dalam kesehariannya.
Respon berbeda muncul dari beberapa dosen. Meskipun tidak semua, namun beberapa dosen masih asing dengan penggunaan iket dan menganggap bahwa iket adalah suatu aksesoris yang bersifat tidak resmi dan tidak patut digunakan saat kuliah. Sekali ketahuan memakai iket, Faizal ditegur. Faizal hanya senyum-senyum. Dua kali ketahuan, ditegur dan dipaksa melepas. Faizal tidak melepas iketnya, hanya tersenyum sinis. Ketiga kalinya ketahuan, Faizal diancam dengan keras akan dikeluarkan dari kelas apabila tidak mau melepas iketnya. Dengan berat hati, Faizal mau melepas iketnya. Sejatinya, iket adalah salah satu produk kebudayaan asli Indonesia yang hampir punah. Sudah menjadi tugas kita bersama menjaga kebudayaan ini agar tidak terhenti dan tetap lestari.
Desa Wisata dan Produk Khas Ketawangrejo “Yingking”
[caption id="" align="aligncenter" width="333" caption="Wisata Menara Ketawangrejo (Foto: flickr.com)"][/caption]
Setelah melakukan observasi singkat, Faizal dan KI Jawa akhirnya menemukan permasalahan utama di desa Ketawang. Permasalahan itu antara lain adalah tingkat ekonomi masyarakat desa yang masih rendah dan menumpuknya pengangguran musiman. Masyarakat memerlukan pekerjaan tambahan yang bersifat permanen sepanjang tahun (tidak musiman) untuk meningkatkan perekonomian masyarakatnya. Proyek ini juga menghindarkan desa dari investor asing.
[caption id="attachment_421338" align="aligncenter" width="300" caption="Sosialisasi Proyek ke Petinggi Desa (Foto: Faizal Abdillah)"]
[/caption]
Sebagai solusi permasalahan itu, Faizal mencetuskan proyek bersama antara KI Jawa dan masyarakat desa Ketawangrejo. Proyek pertama adalah proyek menjadikan desa Ketawangrejo sebagai desa wisata. Hal ini merupakan solusi yang tepat karena masyarakat desa masih bisa melakukan aktifitas hariannya dan tidak mengganggu pekerjaan yang sudah dimiliki masyarakat, namun dapat memberikan penghasilan tambahan untuk desa maupun masyarakat. Penghasilan dari desa berasal dari sumbangan seikhlasnya turis untuk pembangunan desa dan penghasilan untuk masyarakat (keluarga) bisa didapat dari penyewaan rumah untuk turis menginap dan gaji tambahan ibu-ibu sebagai pengrajin iket.
[caption id="attachment_421344" align="aligncenter" width="300" caption="Siap produksi, namun terkendala modal (Foto: Faizal Abdillah)"]
[/caption]
Proyek kedua adalah memproduksi oleh-oleh khas Ketawangrejo yaitu iket. Lagi-lagi sebagai wujud kecintaan Faizal terhadap budaya Indonesia dan keinginannya untuk tetap melestarikan produk kebudayaan ini serta tujuan utamanya memberdayakan masyarakat di desanya, Faizal dan perangkat desa (disetujui masyarakat Ketawang) memilih iket sebagai oleh-oleh khas desa Ketawangrejo. Iket-iket ini akan diproduksi oleh ibu-ibu di desa Ketawang. Ibu-ibu yang dimaksud adalah wanita pengangguran musiman yang pekerjaannya adalah buruh tani yang bekerja hanya di musim tanam dan panen saja.
[caption id="attachment_421343" align="aligncenter" width="300" caption="Sosialisasi Proyek ke Warga (Foto: Faizal Abdillah)"]
[/caption]
Ibu-ibu memegang peranan paling penting dalam proyek produksi iket ini karena segala sesuatu mulai dari produksi, packaging hingga quality control dilakukan oleh ibu-ibu. KI Jawa hanya berperan sebagai penasehat saja. Keuntungan yang didapat dari proyek ini akan diberikan seutuhnya untuk desa dan masyarakat di desa Ketawang untuk meningkatkan perekonomiannya. Menurut Faizal, proyek pertama telah berjalan. Sudah ada beberapa turis yang berkunjung ke desa Ketawang dan lebih ramai dari biasa ketika musim lebaran. Sedangkan untuk proyek kedua belum sampai tahap produksi karena terkendala modal. Meskipun begitu, Faizal masih memperjuangkan pencarian modal ini melalui lomba-lomba. Meskipun belum terealisasi, masyarakat sangat antusias dan sangat menanti-nanti agar proyek kedua ini bisa segera terlaksana dan masalah modal bisa segera teratasi.
Menjadi Kebanggaan Desa
[caption id="attachment_421346" align="aligncenter" width="300" caption="Juara 1 National Management Brainstorming Competition (Foto: Nia Ayu Anggraeni)"]
[/caption]
Tidak banyak pemuda di desanya yang berhasil menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Menjadi salah satu yang beruntung mendapatkan kesempatan itu, tidak lantas membuatnya menjadi angkuh dan sombong. Ia merasa, dengan kesempatan yang ia miliki, ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk memenuhi harapan masyarakat di desanya. Hal ini yang membuatnya satu rasa dan dekat dengan masyarakat. Percuma berilmu tapi tak bisa berbuat sesuatu. Percuma cerdas bila kerjanya hanya menindas. Percuma kaya secara ekonomi, tapi melarat secara budayaan. Faizal adalah salah satu representasi pemuda yang sadar akan perannya. Inilah mahasiswa yang sesungguhnya. Tidak cukup hanya aktif organisasi, tidak cukup menguasai ilmu dan teknologi, tidak cukup hanya merencanakan namun tanpa eksekusi. Tidak cukup. Mahasiswa adalah pemuda yang mau belajar, berprestasi dan tergerak memperbaiki negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H