Kahyangan atau Hyang atau Pura adalah sejenis "tempat suci" yang dibangun atas dasar konsep teologis-filosofis tertentu, menjadi tempat dan pusat orientasi pemujaan.
Secara konseptual, bagian luar candi terdiri dari tiga mandala suci. Pada dasarnya mandala suci ini merupakan simbol dari tiga Bhuwan yaitu Bhur Loka (Jaba Sisi, Nista Mandala), Bwah Loka (Jaba Tengah, Madhya Mandala) dan Swah Loka (Jeroan, Uttama Mandala). Dibandingkan dengan struktur candi Jawa yang merupakan simbol vertikal Tri Bhuwana, pemisahan tiga mandala suci candi juga dipahami sebagai perwujudan horizontal, tetapi keduanya secara filosofis dipahami sebagai simbol kosmos.
Pada saat membangun pura biasanya benda-benda purbakala dilestarikan dengan cara yang membuat tempat tersebut disakralkan, oleh karena itu pura di Bali biasanya melestarikan benda-benda keramat yang telah berumur ratusan tahun seperti lingga, arca arsitektural, ukiran, purana, dll. Kekuatan Bali terletak pada perpaduan kekuatan alam dan budaya. Keberadaan pura merupakan salah satu kekuatan budaya Bali dalam bidang religi.
Namun ada pengecualian, pada candi-candi kecil sering terlihat pelataran luar dan pelataran tengah menyatu, sehingga candi terbagi menjadi dua bagian, yaitu pelataran luar dan pelataran dalam. Setiap pelataran candi dikelilingi oleh tembok, dan pintu masuknya adalah Candi Bentari yang terletak di antara pelataran luar dan tengah, serta Kori Agung atau Candi Kurung yang menghubungkan pelataran tengah dan dalam. Multikulturalisme budaya Bali salah satunya terlihat pada pura/tempat suci tempat Pelinggih dibangun atau adanya benda purbakala yang memiliki konsep di luar agama Hindu di Bali dan dilestarikan di pura/tempat suci tersebut.
Tempat suci yang berisi artefak sejarah atau peninggalan perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia adalah Pura Kebo Edan di Desa Pejeng. Pura Kebo Edan merupakan tempat suci dengan tinggalan arkeologi yang unik dan unik. Di pelataran Candi Kebo Edan terdapat arca Siwa Bhairawa, sepasang arca Kebo Edan, arca cawan darah, arca Ganesha dan beberapa pecahan arca lainnya. Arca-arca ini dapat dijadikan sebagai sejarah yang otentik. Tiga hal yang paling unik dari candi ini adalah adanya beberapa arca bertema Bhairawa yang menunjukkan adanya kajian Hindu Tantrayana yang berkembang di Bali.
Selain candi, istilah "tempat suci" memiliki arti yang luas dalam konsep Hindu, yaitu bangunan dan "tempat" (ruang alam) yang telah "disucikan" misalnya dengan upacara penyucian (melaspas). Gunung (Giri, Adri). , mata air (Patrithan), sungai, danau, laut (segara), persimpangan jalan (catuspata) dan ladang. Secara mitologis, konsep "tempat suci" di atas menunjukkan hubungan yang erat dengan Shaivisme, yang menurutnya Dewa Siwa, untuk menjaga keseimbangan (keseimbangan) tatanan alam, juga menggunakan delapan unsur bumi, air, api, angina, bulan, eter (atom), matahari dan bumi Yadnya. Upacara Yadnya merupakan sarana pemujaan dan wujud Dewa Siwa yang dipuja dalam kesucian kosmos dalam arti yang sangat luas.
Dalam sistem struktur (pembangunan dan pemeliharaan) dari ribuan candi yang ada, pemahaman tersebut dituangkan dalam konsep spasial dan kosmologis umat Hindu Bali yang dirumuskan dalam konsep eko-religius Tri Hita Karana (Parahyangan, Palemahan dan Pawongan). Konsep ekologi-religius ini menjadi dasar bagi setiap desa Pakraman (Pakertan) yang ada, yang kemudian secara spasial dikaitkan dengan bentuk Banjar sebagai unit organisasi sosial-keagamaan. Masyarakat Hindu Bali menerapkan ideologi Tri Hita Karana yang terdiri dari Parahyangan, Palemahan dan Pawongan dalam berhubungan dengan lingkungannya. ideologi Dr. Hita Karana mengajarkan keharmonisan antara manusia dan penciptanya, manusia dan lingkungan. Parahyangan adalah tempat suci dalam agama Hindu untuk berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawongan merupakan sarana untuk membangun hubungan yang harmonis satu sama lain. Dan Palemahan merupakan sarana untuk menciptakan keharmonisan antara manusia dan lingkungan. Untuk mewujudkan keharmonisan tersebut, masyarakat Hindu di Bali membangun berbagai ruang yang dapat digunakan untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan nama pura.
Bali lebih dikenal sebagai daerah dengan masyarakat yang homogen, namun pada kenyataannya masyarakat Bali tidak homogen melainkan heterogen. Hal ini ditandai dengan kedatangan para pendatang dari berbagai latar belakang, suku, budaya dan agama. Keberagaman masyarakat Bali tercermin dari eratnya ikatan antara individu, kelompok, kelas, suku bangsa dan agama yang seringkali mengakibatkan percampuran budaya sehingga menimbulkan multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat Bali. Tidak hanya heterogen dari segi agama, tetapi juga dari segi struktur dan fungsi pura di Bali juga menunjukkan fungsi yang heterogen.
Pura Besakih, juga dikenal sebagai Pura Agung Besakih, adalah tempat suci Hindu yang terletak di kaki Gunung Agung, Bali. Pura ini merupakan pura terbesar dan terpenting di Bali, dan dianggap sebagai "Pura Agung" atau "Pura Utama" di Pulau Dewata. Salah satu pemujaan yang dilakukan di Pura Besakih adalah untuk menghormati roh para orang suci yang dihormati dalam agama Hindu. Para orang suci ini biasanya merupakan tokoh-tokoh yang dianggap suci karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan agama dan kemanusiaan. Di Pura Besakih terdapat beberapa paviliun atau bangunan kecil yang didedikasikan untuk menghormati para orang suci.
Salah satunya adalah paviliun Pura Batu Madeg, yang didedikasikan untuk menghormati roh Rsi Markandeya. Rsi Markandeya merupakan seorang rishi atau resi yang dianggap sebagai tokoh suci dalam agama Hindu karena kesuciannya dan kontribusinya dalam mengajarkan agama Hindu. Pemujaan di Pura Batu Madeg biasanya dilakukan dengan membawa sesaji dan memanjatkan doa sebagai bentuk penghormatan kepada Rsi Markandeya. Selain itu, dalam pemujaan di Pura Besakih juga dilakukan upacara persembahan banten atau sesaji yang berisi berbagai macam makanan, bunga, dan barang-barang kecil lainnya sebagai tanda penghormatan kepada roh para orang suci.