Lihat ke Halaman Asli

Niko Hukulima

Karyawan Swasta dan Aktivis Credit Union Pelita Sejahtera

Atambua-Dili, Sebuah Perjalanan Persaudaraan

Diperbarui: 4 Januari 2024   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Catatan Perjalanan

"Peserta dimohon sudah siap pkl. 06.30 WIT di depan Hotel Matahari". Demikian pesan penutup dari panitia menjelang tidur malam. Selanjutnya...hening malam di Hotel Nusantara 2 Atambua, segera mengantar ke peraduan, lelap... menjemput metahari terbit. Timor Lorosae.

Menjelang pkl. 06.30, seluruh peserta sudah siap didepan Hotel Matahari. Bis berjejer lengkap dengan nomor sesuai petunjuk panitia. Para peserta bergerak memasuki bis, sambil melengkapi formular digital dari pihak imigrasi.

Rombongan bus keluar dari hotel. Tidak butuh waktu lama, iringan bus sudah berada di jalan yang mulus, menghubungkan dua negara, membawa kami menuju perbatasan Motaain, menemui "saudara muda" yang terpisah oleh jarak waktu belum lama.

Hamparan ladang dan kebun-kebun jati di kiri kanan jalan, deretan perbukitan, juga ternak berseliweran, terasa indah mengiringi perjalanan dipagi yang cemerlang. Kurang lebih 45 menit kemudian, kami sampai di perbatasan. Ya.. perbatasan Timor Leste-Indonesia, batas teritori yang memisahkan dua saudara; Timor Leste di Timur dan Indonesia di barat pulau Timor.

Semua turun dari bus. Proses keimigrasian berjalan lancar, walau memakan waktu cukup lama. Ini karena rombongan yang datang cukup besar. Pos perbatasan Indonesia di perbatasan kedua negara ini begitu megah, layaknya sebuah gedung di kota besar. Berdiri diatas lahan seluas 11,29 Ha, diperbaharui pada awal tahun 2015 dengan anggaran sebesar Rp. 128 Milyar, dan selesai dibangun pada akhir Desember 2016. Taman dan lalan masuk menuju pintu gerbang begitu luas dan indah. Bangunan-bangunan megah dan monument yang indah menambah rasa kagum.

Bangunan di Lintas batas ini kemudian menjadi objek wisata yang menjanjikan. Walaupun pengunjung yang datang ke tempat ini tidak dipungut biaya, namun dampak lain yang dirasakan oleh masyarakat sekitar cukup berarti. Ada yang membuka kios untuk berdagang, kantin dan rumah makan. Jumlah pengunjung yang datang ketempat ini, rata-rata perhari 200 orang. Jika hari raya tiba seperti Natal, Tahun Baru dan Idul Fitri, jumlah pengunjung akan berlipat-lipat, mencapai ribuan orang. Saya turun, mengamati kompleks perbatasan yang berada ditengan hutan ini dengan rasa kagum. Luar biasa.

Dokpri

Saya mendekati seorang satpam yang sedang bertugas. Namanya pak Alex dan sudah dua tahun bertugas ditempat ini. Dengan riang dia menceritakan rasa senang dan bangga dapat bekerja ditempat sebagus  ini. Sejak selesainya referendum tahun 1999 hingga tahun 2015 awal, gedung diperbatasan ini kesannya masih berupa bangunan seadanya dibandingkan dengan bangunan diseberang milik Timor Leste. Sambil guyon, pak Alex menambahkan; "sebelum pak Jokowi, kami adalah masyarakat terbelakang. Setelah pak Jokowi, kami adalah masyarakat kota terdepan". Jawaban yang agak satir memang, tetapi memberi pesan kuat soal perbedaan kepemimpinan politik Indonesia dua jaman. Klaim-klaim keberhasilan pembangunan tidak saja berhenti pada retorika semata, namun justru kasat mata dalam realitas di era digital ini. Omong kosong penuh kepalsuan akan menemukan jalannya sendiri dan kemudian muncul dalam realitas publik masyarakat modern sebagai sampah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline