Apa yang membuatnya tertikam di persimpangan? Tertancap peluru tajam di dadanya. Perih. Tertatih-tatih.
Lalu ia terkapar di trotoar, menunggu peluru tercabut lalu mati.
Meninggalkan bercak darah yang bisa menjadi bukti. Bukti bahwa ia pernah mati disini.
Berjuang melawan egoisme dan emosionalisme namun tetap saja kalah. Kalah melawan peluru nafsu yang ia perjuangkan sendirian.
"Maka jangan terpana pada lentera tiang yang menyala itu, Bung. Mungkin itu fana dan segala kefanaan yang dihadirkan oleh gelap."
Kini peluru itu menusuknya sangat dalam, tajam dan terasa sakitnya.
Ah. Duniawi dituruti. Nyata sakitnya, kan?
Yogyakarta, September 2018
(NH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H