Seorang teman, ketika berlari-lari pagi di pinggir sungai kecil di dekat rumahnya, memergoki seorang ustadz sahabatnya yang sedang membuang sekeranjang sampah ke sungai. Dia berkelakar (kira-kira begini), “Ustadz, tajri min tahtihal anhar. Apakah di surga nanti sungainya bersih atau banyak sampahnya ya?” Ternyata ustadz tersebut marah-marah. Maaf, tidak saya tuliskan marahnya seperti apa.
Peristiwa singkat ini kita pahami sebagai gambaran bahwa tidak ada hubungannya antara pengetahuan (ilmu) dengan perilaku. Tentu pernyataan ini tidak bisa dipukul rata untuk seluruh penduduk Indonesia. Pada kasus di atas, seorang ustadz yang memiliki pengetahuan bahwa Islam mempunyai konsep kepedulian terhadap lingkungan hidup, ternyata tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya, teori hanyalah untuk diketahui (aspek kognitif) saja, tidak ada hubungannya dengan afektif dan psikomotoriknya.
Saya juga beberapa kali menemukan, bahwa ada mobil bagus yang penumpangnya membuang sampah makanan di jalan dengan seenaknya. Rasanya saya sakit hati ketika itu, ternyata orang-orang kaya pun (maaf, tidak semuanya) juga tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup. Boleh jadi orang-orang kaya memiliki tingkat pendidikan lebih baik, tetapi juga tidak selaras dengan perilakunya.
Pada kasus yang lain, di persawahan di kampung saya juga banyak sampah plastik yang terbawa oleh saluran irigasi. Sungguh berbeda dengan masa kecil saya. Saat itu saya suka sekali bermain masuk ke sawah sepulang sekolah. Saya mencari tanah lempung untuk membuat benda-benda apapun sebagai perwujudan kreativitas, tanpa ada rasa jijik. Tetapi sekarang, saya membayangkan rasa jijik untuk masuk ke sawah karena banyaknya sampah di sana.
Belum lagi industri –besar atau kecil, yang membuang limbahnya ke sungai dengan seenaknya, tanpa mempedulikan aturan yang berlaku. Seolah-olah mereka tidak merasa perlu untuk menaati aturan yang ada. Aturan dikangkangi dengan keegoan dan kesombongannya. Seolah petugas pemerintah bisa dibeli dan diatur sekehendak hatinya.
Gas buang yang dikeluarkan dari cerobong pabrik dan knalpot kendaraan bermotor semakin memperkaya racun yang dikandung udara kita. Bukan industri dan kendaraan bermotor yang harus mengatur diri agar tidak membuang gas beracun, tetapi manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan udara kotor dan beracun. Lebih utama yang mana, manusia ataukah industri dan kendaraan bermotor?
Undang-undang untuk mengaturnya sudah ada dan sudah diberlakukan. Tetapi dalam pelaksanaannya masih lemah. Pemerintah tidak bisa berlaku tegas. Kita sudah cukup puas dengan memiliki undang-undang tentang lingkungan hidup untuk dipamerkan kepada dunia. Orang Indonesia boleh saja hidup tidak sehat, asalkan kepentingan ekonomi tetap lancar. Maaf, agak sinis dan pesimis.
Ini semua sebagian dari kasus pemerkosaan terhadap lingkungan hidup yang semakin menjadi. Bolehlah kita mengambil simpulan sederhana dari kasus-kasus tersebut, bahwa perilaku masyarakat kita tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Jika demikian, bagaimana mungkin kita bisa mendidik anak-anak kita di rumah agar peduli terhadap lingkungan hidup?
Para orang tua senang jika anak-anaknya peduli terhadap lingkungan hidup. Tetapi, apakah hal itu mungkin terwujud jika di rumah mereka tidak mendapatkan teladan yang benar? Agaknya para orang tua menyerahkan sepenuhnya (pasrah bongkokan) ke sekolah untuk dididik dengan benar, sedangkan orang tuanya tidak mengimbanginya dengan selaras. Kurikulum sekolah, secara khusus, belum menyediakan menu pelajaran tentang lingkungan hidup ini, melainkan masih berupa bahasan kecil saja yang menempel pada mata pelajaran lainnya.
Jika ini dibiarkan terus, kira-kira apa yang akan terjadi dengan lingkungan hidup kita ke depan? Kapan negara kita menjadi negara yang bersih, indah dan sehat? Tentu tergantung kita semua, terutama political will dari pemerintah secara tegas. Wallahu a’lam.
Ngudi Tjahjono, Malang (22 Juli 2016)