Kicauan burung terdengar bersahutan, merdu dan menimbulkan kesan damai. Kicauan berirama yang indah itu bukan terjadi di siang hari, melainkan malam hari. Saya menduga, bahwa suara itu bukanlah kicauan burung yang sesungguhnya. Bukankah sekarang ini banyak rekaman suara burung digital untuk memancing peliharaan burung agar cepat berkicau?
Kicauan itu terjadi di Orchad Road di pusat kota Singapura. Untuk membuktikan dugaan tersebut, saya layangkan pandangan ke atas pohon. Ternyata saya melihat gerakan beberapa burung yang sesungguhnya. Agar memberikan kesan indah dan romantis, beberapa pohon di pinggir jalan di dekat trotoar, kanopinya disorot lampu dari bawah. Karena terang oleh lampu, agaknya itulah yang menyebabkan burung enggan untuk tidur.
Hiruk pikuk orang berjalan mondar-mandir di trotoar yang lebar membuat kawasan itu hidup hingga hampir tengah malam. Sekitar pukul sepuluh malam, petugas kebersihan yang sebagian para wanita asal Banglades mulai menjalankan tugasnya membersihkan trotoar dan halaman dari sampah-sampah daun pepohonan. Pada beberapa tempat disemprot dengan air kran.
Keesokan paginya kami bertujuh sarapan di warung makan pinggir jalan. Kami duduk di kursi yang ditata melingkari meja di atas trotoar yang lebar. Trotoar di kawasan jalan kecil yang agak masuk dari jalan Orchad Road memang cukup lebar, sekitar enam meter atau lebih. Trotoar yang amat nyaman bagi para pejalan kaki (pedestrian). Sambil menunggu sajian menu yang sudah kami pesan, ternyata beberapa jenis burung turun ke dekat kami tanpa rasa takut. Ada merpati, jalak dan beberapa jenis burung yang elok dipandang. Ini mematahkan dugaan saya di malam sebelumnya. Ternyata burung-burung tersebut benar-benar ada, justeru di tengah-tengah kota yang ramai. Pemandangan seperti ini sudah lama tidak bisa ditemui di pusat-pusat kota di Indonesia kecuali di pasar burung.
Pagi pertama kami di Singapura sungguh merasakan kesan tatanan lingkungan hidup yang indah. Ditambah lagi ketika kami di antar berkeliling kota ke tempat-tempat destinasi wisata kota, semakin memperkuat kesan itu. Taman-taman di pinggir jalan dan di halaman-halaman gedung-gedung tertata rapi dan indah. Jalanan, trotoar dan sungai bersih dari sampah. Lalu lintas jalan raya sangat tertib dan tidak macet. Udara yang bersih kami hirup dengan leluasa sambil berjalan kaki menelusuri kota.
Pernah saya membaca cerita dari salah seorang ustadz setelah beberapa hari berdakwah di Singapura. Bahwa untuk membangun masjid harus mengikuti beberapa aturan yang ketat. Masjid yang akan dibangun harus indah, kuat dan kokoh. Jika kekurangan dana untuk mewujudkan masjid seperti yang disyaratkan, maka pemerintah akan membantu. Adapun syarat lingkungan hidup yang harus dipenuhi adalah, bahwa air bekas wudlu tidak boleh langsung dibuang ke sungai melalui saluran pembuangan. Air tersebut harus diolah secara alamiah di dalam kolam lebih dulu beberapa hari, baru boleh dialirkan ke sungai. Air bekas wudlu saja diatur pembuangannya, apalagi limbah yang lebih berat dari itu.
Kurikulum Sekolah
Tentu saya penasaran, mengapa kepedulian penduduk Singapura terhadap lingkungan hidup begitu tinggi? Saya menanyakan hal tersebut kepada sopir travel yang mengantar kami keliling kota. Penjelasan beliau, bahwa sejak di taman kanak-kanak sudah diajarkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Hal ini dituangkan di dalam kurikulum sejak taman kanak-kanak. Di samping itu, di rumah pun juga diajarkan hal yang sama oleh orang tua mereka dalam bentuk perilaku sehari-hari, demikian juga di masyarakat luas. Terintegrasinya pendidikan lingkungan hidup seperti ini tentu dapat membentuk perilaku anak sejak dini, bahwa lingkungan hidup adalah merupakan bagian dari kehidupannya yang harus dipelihara dengan baik.
Hal ini berbeda dengan di negara kita. Pendidikan lingkungan hidup tidak diberikan secara khusus dalam kurikulum sekolah, melainkan hanya disinggung sedikit saja. Sedangkan di rumah dan masyarakat, mereka tidak menemukan aplikasi dari ajaran di sekolah. Maka, yang ada dalam benak anak-anak kita, bahwa ajaran tentang lingkungan hidup hanyalah sekedar pengetahuan yang tidak perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Akankah kondisi seperti ini akan berlangsung terus? Tentu tergantung pada kebijakan pemerintah ke depan. Wallahu a’lam.
Ngudi Tjahjono, Malang (21 Juli 2016)