Lihat ke Halaman Asli

Cerpen "Camp 4"

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Bersambung
Oleh: Dadang Sukandar

She will be love” lantunan Maroon Five yang menggantung di langit-langit kafe itu adalah pesanan seorang pria yang sedang mabuk. Bukan, bukan mabuk minuman, mariyuana, atau sejenisnya. Pria itu sedang mabuk cinta. Fakta yang relevan dengan kondisi itu antara lain seorang gadis di seberang mejanya yang tersipu malu-malu ketika jari-jemarinya digerayangi. Di atas meja, selain lilin juga berjejer setangkai mawar merah dan kotak kecil berwarna coklat – yang mudah ditebak isinya cincin kawin. Ketika Maroon Five berganti petikan gitar “Harmoni” dari band Padi, pasangan itu telah luluh ke dalam keajaiban asmara, saat sang pria memasukan lubang cincin itu di jari manis tangan kiri si gadis. Gadis itu berbinar matanya dan nyaris meledak. Di atas kepala mereka Dewi Cupid sedang merayakan kesuksesan, menyelesaikan misinya menancapkan panah cinta tepat di jantung hati mereka, seolah menegaskan bahwa di titik inilah mereka akan bahagia bersama selamanya sehidup semati.

Di pojok lain kafe itu suasananya bertolak belakang: tenang dan murung. Di sana Yosua duduk sendirian bersama laptopnya. Sambil menunggu seseorang ia menjelajahi google. Sesekali Yos menyempatkan melirik ke arah pasangan tadi, juga ke arah pasangan-pasangan lainnya di meja tengah ruangan. Rata-rata meja-meja di kafe itu diduduki oleh pasangan-pasangan yang terlihat bahagia – kecuali satu pasangan yang sedang bertengkar di lantai dua.

Tak ada yang aneh pada dirinya, pikir Yos. Biasa-biasa saja kalau ia tak punya pasangan. Sudah dua tahun terakhir Yos menjalani dinas aktifnya sebagai jomblo. Karena status itu pula Yos merasa lama-lama harapan mamanya untuk segera punya cucu darinya menjadi tuntutan. Juga di kalangan kawan-kawan seangkatan kuliahnya dulu yang rata-rata sudah beranak satu. Kejombloannya itu pula yang sering menuntunnya pada pertanyaan kalau tidak “siapa?”, ya, “kapan?” Pertanyaan-pertanyaan yang sering dijawab Yos dengan tidak konsisten dan meragukan – itupun kalau ia sedang berselera menjawabnya. Meski usianya sudah dua puluh delapan tahun, tapi hard disk di otaknya masih belum cukup kapasitas untuk memuat memori-memori tentang wanita.

Keterlambatan yang membuatnya menunggu di kafe itu diawali oleh janjinya dengan seorang sahabat lama yang telah memastikan dirinya akan tiba di kafe itu tepat jam delapan malam. Sekarang sudah jam delapan lewat dua puluh menit tapi orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Kalau saja bukan Yos yang butuh, mungkin ia sudah meninggalkan kafe itu sejak sepuluh menit yang lalu – batas toleransinya pada keterlambatan cuma sepuluh menit. Pekerjaan menunggu, jikapun bisa dianggap sebagai pekerjaan, adalah hobi yang paling tak diminatinya. Untungnya ia membawa laptop dan kafe itu ber-wi-fi, membuat pekerjaan menunggunya menjadi lebih produktif. Di internet ia sedang membaca blog dan menelusuri foto-foto pendakian gunung.

Setengah jam kemudian tiba-tiba di hadapannya muncul seorang pria layaknya tukang sulap, “CoySory, gue telat!”

Pria itu adalah Nikolas.

Niko meletakan tas laptop ke kursi di sebelahnya dan ia mengambil duduk tepat berhadapan dengan Yos, sambil seperti biasanya, melempar senyum yang paling tidak bersalahnya dan berancang-ancang menyebutkan sepuluh dasar pembenar yang dapat menjustifikasi keterlambatannya selama hampir lima puluh menit.

Niko menengok jam.

“Baru jam sembilan kurang. Gue pesen makanan dulu, ya. Laper berat, coy!” pinta Niko yang dijawab Yos cuma dengan anggukan alis.

Dengan ujung jari telunjuk Niko berhasil menarik seorang pelayan wanita ke mejanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline