Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan dan Interpretasi Waktu

Diperbarui: 3 Juni 2019   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Inilah bulan yang selalu ditunggu oleh umat Islam seluruh dunia. Bulan yang di dalamnya penuh dengan keberkahan. Spirit ibadah dan berbagai aktualisasi keberislaman terpancar kuat di berbagai bidang kehidupan. Ya, inilah bulan suci Ramadhan.

Ramadhan sendiri sesungguhnya tidak berubah. Cara pandang dan interpretasi kita saja yang terus berkembang. Maka, membahas Ramadhan dalam konteks dulu dan sekarang sesungguhnya membincang sesuatu yang dinamis.

Setiap ruang dan waktu memiliki karakteristik khas berkaitan dengan Ramadhan. Ada yang unik, dirindukan, dan belum tentu terulang di masa yang akan datang. Wajar jika Ramadhan selalu meninggalkan kenangan mendalam yang tidak terlupakan sepanjang hidup manusia.

Bagi saya, interpretasi waktu berkaitan dengan Ramadhan ini bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Ramadhan dalam kenangan masa kecil. Dulu, di desa saya, menjelang Ramadhan selalu ditandai dengan banyak ritual khas. Satu yang saya ingat adalah bunyi beduk bertalu-talu sepanjang hari sebelum memasuki bulan suci. Kami yang masih anak-anak menikmati momentum ini dengan penuh kebahagiaan.

Kini, saya sudah tidak menemukan lagi tradisi ini. Entahlah, ke mana perginya tradisi ini. Pada saat semacam ini, kerinduan dalam menyambut Ramadhan acap muncul kembali, meskipun jelas waktu tidak bisa berputar kembali.

Kedua, Ramadhan ketika di pesantren. Ya, inilah Ramadhan dalam spirit ibadah-belajar yang tidak akan terlupakan sepanjang usia. Siang malam berisi aktivitas yang padat merayap. Jam 03.00 harus bangun untuk shalat malam dan sahur. Terlambat sedikit berarti kehilangan kesempatan sahur secara memuaskan karena ratusan santri lain sudah merayap di dekat dapur pondok. Usai sahur dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah. Lalu mengaji kitab kuning sampai pukul 06.00.

Usai mengaji bersiap menuju sekolah. Sekolah berjalan sampai jam 12.00 siang. Istirahat sebentar, jam 14.00 sampai 15.30 ada pengajian kitab kuning. Shalat ashar, lalu mengaji sampai pukul 17.00. Usai shalat magrib mengaji lagi sekitar 30 menit. Begitu juga usai shalat taraweh.

Membaca jejeran aktivitas ini rasanya sudah capek. Panjang dan berderet. Tetapi kami yang menjalaninya saat itu asyik-asyik saja. Meskipun tidak jarang kami terkantuk-kantuk---bahkan tertidur---di sela-sela aktivitas yang padat merayap itu, semuanya berjalan dengan indah dan penuh kenangan.

Ketiga, Ramadhan ketika menjadi mahasiswa sampai menjelang menikah. Inilah Ramadhan yang betul-betul mandiri. Penuh perjuangan. Banyak hal yang juga sama-sama tidak terlupakan. Substansi periode ini adalah bagaimana menata dan menjalani hidup agar bisa memiliki masa depan yang lebih baik.

Keempat, Ramadhan era berkeluarga. Ini berjalan sejak saya menikah pada tahun 2003 sampai sekarang. Ya, berarti sudah 15 tahun. Selama ini, saya menghabiskan Ramadhan dengan bekerja dan menikmati waktu kebersamaan pada sore hari di rumah. Meskipun tidak selalu sore hari bisa pulang, tetapi rumah adalah tempat melabuhkan segenap kerinduan terhadap kebersamaan.

Bagaimana saya mengisi Ramadhan sekarang ini? Sungguh ini sebuah pefrtanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Sejujurnya saya merindukan suasana Ramadhan yang penuh kegiatan seperti saat saya masih mondok dulu. Bisa mencurahkan segenap waktu untuk terus beribadah dan belajar. Tetapi itu jelas mustahil. Sekarang saya harus membangun kesadaran tentrang waktu. Ya, saya mesti menyadari bahwa semacam itu tidak mungkin terilang kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline