Oleh Ngainun Naim
Hari raya idul fitri sudah memasuki hari ketujuh. Besok sudah lebaran ketupat. Sebagai Muslim, kita merasakan bahagia yang menyeruak dari dalam jiwa. Tentu, tidak semua orang bisa merasakannya. Realitas kehidupan yang semakin kompleks membuat perspektif terhadap idul fitri berbeda-beda. Tetapi sesungguhnya siapa pun orangnya yang beragama Islam akan merindukan yang namanya idul fitri.
Saya berusaha menikmati dan menggali hikmah dari perjalanan silaturrahim. Hari pertama baru berkunjung—dan menerima kunjungan—tetangga dan famili. Perbincangan berlangsung dengan hangat tentang berbagai hal. Ada rasa bahagia membuncah. Perbincangan itu sesungguhnya pernah juga dilaksanakan di waktu yang berbeda. Tetapi rasanya berbeda karena momentum idul fitri menghadirkan nuansa khusus.
Sesungguhnya ada keinginan kuat untuk melakukan silaturrahim ke famili sebanyak-banyaknya. Tetapi ternyata tidak mudah mewujudkannya. Ada saja hal-hal yang menjadi halangan. Hidup memang selalu berjuang antara kutub ideal dengan kutub real. Harapannya bisa bersilaturrahim sebanyak mungkin, tetapi realitasnya belum optimal.
Namun demikian saya berusaha untuk menjalani momentum hari kemenangan ini. Saya mencoba menggali hikmah dan mencatat hal-hal penting yang saya peroleh dari arena pertemuan dengan tetangga, kerabat, dan handai taulan. Hal-hal penting itulah yang saya harapkan bisa membuat jiwa saya menjadi semakin kaya.
Salah satu hal yang saya ingat adalah nasihat seorang tetangga agar rajin berolahraga, khususnya jalan kaki. Beliau bilang bahwa jalan kaki itu bukan hanya kebutuhan, tetapi juga hiburan. Apa yang beliau sampaikan bukan hanya teori, tetapi beliau sendiri telah mempraktikkannya. Sekarang, di usia beliau yang sudah 80-an tahun, kondisi fisiknya masih cukup sehat. Makanan tidak ada yang menjadi pantangan.
Saya juga bertemu dengan banyak orang yang memiliki segudang cerita. Dari mereka saya mendapatkan hikmah hidup. Ada kisah suka, kisah duka, kisah keberhasilan, perjuangan, dan sebagainya. Semuanya menghadirkan hikmah hidup. Pada kondisi semacam itulah, rasa syukur itu menemukan momentumnya untuk kembali diteguhkan.
Lebaran juga menghadirkan fenomena sosial yang sungguh luar biasa. Saya—dan saya yakin Anda juga menemukannya—fenomena belanja dan kuliner yang sedemikian padatnya. Itulah realitas kehidupan sosial kita.
Saya jadi teringat tentang manusia otentik. Islam memiliki konsep insan kamil.Saya kurang mendalami persis perbedaan dan persamaan antara keduanya. Yang saya ingat, para ahli menyatakan bahwa puasa ramadhan adalah momentum ibadah yang menolah fisik dan spiritual kita. Ketika puasa usai, kita diharapkan menjadi manusia otentik.
Budayawan Indra Tranggono dalam artikelnya di Harian Kompas hari ini, 12 Juli 2016 menulis bahwa manusia sejati adalah manusia otentik dengan kesadaran profetik yang mampu melahirkan kreativitas genuine dan menjawab persoalan kemanusiaan serta kebangsaan. Itu idealnya. Dan saya kira tulisan Indra Tranggono penting sebagai bahan refleksi atas perayaan lebaran yang telah kita jalankan.
Tulungagung, 12 Juli 2016