Lihat ke Halaman Asli

Tarawih dan Kegembiraan

Diperbarui: 12 Juli 2016   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Ngainun Naim

Puji syukur Alhamdulillah, akhirnya puasa sebulan tertunai. Karena anugerah-Nya semata sehingga puasa bisa dijalankan sampai akhir. Rasanya bahagia sekali mendengar lantunan takbir dari berbagai penjuru sebagai pertanda berakhirnya bulan Ramadhan. Esok pagi, umat Islam akan menjalankan shalat idul fitri.

Setiap orang memiliki pengalaman menarik saat menjalankan puasa. Salah satunya adalah saat menjalankan shalat taraweh. Menjelang shalat isyak, umat Islam berbondong-bondong ke masjid atau mushala untuk menjalankan shalat taraweh. Melihat fenomena keberagamaan semacam itu, ada rasa bahagia. Ada kesejukan.

Mushala di tempat saya menjalankan shalat tarawih 20 rakaat plus 3 rakat shalat witir. Tentu, menjalankannya bukan pekerjaan yang ringan. Butuh perjuangan. Kadang shalat berada di antara sadar dan tidak. Maklum, setelah seharian bekerja, sangat mungkin kondisi fisik sudah sangat lelah sehingga shalat tarawih dijalankan dengan sisa energi.

Saat kecil, rakaat demi rakaat shalat tarawih menjadi ajang pertanyaan. Ya, jika selesai salam, saya sering berdebat dengan teman-teman tentang kurang berapa rakaat. Padahal, salam baru satu kali.

Kini, giliran anak saya kalau sedang shalat bersebelahan dengan saya yang bertanya. ”Kurang berapa rakaat?”. Itu pertanyaan khas yang meluncur. Saya biasanya hanya memberi isyarat dengan jari.

Sebagian dari kita menjadikan shalat tarawih di masa kecil sebagai salah satu kenangan tak terlupakan sepanjang hidup. Jangan dibayangkan shalat tarawih itu sebagai media mencari pengalaman keberagamaan. Sama sekali bukan. Shalat tarawih bagi anak-anak adalah ajang kegembiraan.

Saya ingin mengutip tulisan Jalaluddin Rakhmat yang berjudul ”Puasa dalam Proses Penyempurnaan Diri” yang dimuat dalam buku Kembali ke Jati Diri, Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban (Bandung: Mizan, 2013). Jalaluddin Rahmat di halaman 59 menulis:

Mungkin di antara ritual Ramadhan yang paling meriah adalah shalat tarawih. Bagi anak-anak kecil, shalat tarawih yang menjadi momen berkumpulnya umat Muslim di masjid merupakan hiburan tersendiri. Saya senang melihat banyak orang berbondong-bondong ke masjid. Dengan latar belakang tradisi NU, shalat tarawih di kampung saya berlangsung 20 rakaat dan ditambah shalat witir 3 rakaat.

Suasana menjadi kian menyenangkan ketika saya bergabung dengan teman-teman di shaf belakang. Ketika bacaan shalawat dikumandangkan menandai dimulainya shalat tarawih, kami adalah yang paling keras menjawabnya, ”Shalli wa sallim wa bârik ’alayh”. Kami kadang bercanda dan saling dorong, sehingga membuat suasana shalat tarawih agak sedikit terganggu.”

Saya yakin jika Anda sekalian berada dalam kultur yang sama dengan saya, seperti Jalaluddin Rakhmat saat kecil, akan memiliki pengalaman yang mirip. Ya, bagi anak-anak, shalat tarawih adalah sarana kegembiraan. Dan itu tidak akan terlupakan sepanjang hidup. Selamat Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline