Menurut data yang dikeluarkan oleh Aprindo ( Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia ), pada kwartal I 2017 tingkat pertumbuhan penjualan industri retail turun 20 % dibandingkan tahun lalu.
Tahun lalu sekitar 40 triliun, sedangkan pada tahun ini kwartal I sekitar 30 triliun. Begitu juga pada kwartal II dimana pada April hanya tumbuh 4,1 %, Mei malah turun 3,6 % bahkan pada saat puasa, lebaran dan liburan sekolah juga tidak menunjukan pertumbuhan retail yang lebih baik dibandingkan tahun lalu. Secara keseluruhan pertumbuhan industri retail pada semester I hanya 3,7 % jauh dibandingkan tahun 2016 berkisar di 11,1 %.
Dari data yang ada di tahun 2015 pertumbuhan 8 %, 2016 di angka 9 %, harapan kita di tahun 2017 sekitar 9 % sampai 10 %. Dengan melihat hasil yang telah di capai di semester I yang hanya sekitar 3,7 %. Saya rasa akan sulit mencapai 9 % - 10 % hingga akhir tahun dimana hanya ada natal dan tahun baru. Aprindo bahkan telah mengkoreksi pertumbuhan yang di targetkan dari 9 % menjadi hanya 6 % untuk tahun 2017.
Apa yang menjadi penyebabnya ? Tidak lain tidak bukan karena penurunan daya beli masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan retail turun karena adanya E-Comerce ( Toko online ). E-Comerce memang memakan sektor retail dihilir untuk barang tertentu saja seperti produk barang fashion, produk kecantikan dan barang pernak -- pernik untuk hadiah. Memang ada pergeseran belanja retail dari offline ke online namun hanya sekitar 2 % - 7 %.
Coba kita perhatikan apabila kita jalan -- jalan ke mall -- mall di Jakarta, Mangga dua, Glodok bahkan Tanah Abang, kita banyak menemukan toko yang sudah tutup. Ada 3 penyebab utama yang menyebabkan banyaknya toko pada tutup, pertama sepinya pembeli ( daya beli turun ), kedua karena harga barang yang naik dan terakhir banyaknya stok barang yang tidak tersedia atau tidak ada barang (out of stock). Sebagai gambaran, kita mengetahui bahwa selama ini barang yang berada di pasaran Indonesia lebih banyak di dominasi oleh barang impor dibandingkan produk lokal baik untuk pasar konvensional maupun pasar online.
Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan industri retail Indonesia ? Pertama, Hapuskan segala kebijakan yang membebani masyarakat dan dunia usaha seperti SNI, Sertifikat Halal, BPOM serta kebijakan NOTUL yang semena -- mena oleh oknum Bea dan Cukai. Keempat hal tersebut sangat membebani pengusaha yang berujung kepada High Cost Economy. Hal ini menyebabkan harga barang menjadi mahal, daya beli masyarakat turun dan inflasi naik.
Kenapa tetap harus ada SNI, Sertifikat Halal dan BPOM kalau dari negara asal sudah dapat menyediakan sertifikat yang sama dengan Standard Internasional seperti ISO, FDA ( Food and Drug Administration ), ataupun Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh negara lain. Bukan isu semata bahwa pengurusan SNI, Sertifikat Halal dan BPOM sangat susah dan mahal karena adanya permainan oknum disana.
Bagaimana dengan kebijakan NOTUL ? Banyak sekali di jadikan sarana pemerasan oleh oknum, bahkan oknum yang semena -- mena menetapkan harga pembanding dan setiap petugas bisa berbeda -- beda standardnya. Jika kita keberatan NOTUL harus diselesaikan di pengadilan pajak yang panjang sidangnya dan harus membayar dahulu 50 % sebagai syarat untuk dapat di sidang, jelas ini juga membebani cash flow pengusaha / importir.
Kedua, Segera turunkan besaran Bea Masuk, PPH dan PPN Sebagai gambaran bahwa Malaysia avarage dutynya 5,74 % dan PPN 6 % sedangkan Indonesia avarage duty kita 10,8 % dan PPN 10 %. Akibatnya harga barang kita lebih mahal dan membuat banyak orang melakukan impor secara illegal. Kita memang berharap petugas Bea dan Cukai dapat bekerja dengan baik, benar, jujur dan bebas dari korupsi untuk memberantas illegal import. Jika tidak bisa maka mungkin ada baiknya fungsi bea cukai diserahkan ke swasta seperti SGS di jaman menteri keuangan Ali Wardhana.
Ketiga, Percepat penyerapan anggaran sehingga ekonomi bisa berputar lebih cepat, masyarakat mempunyai uang dan bisa melakukan konsumsi dengan demikian retail akan bergairah kembali.
Keempat, Melakukan promosi dan penjualan produk lokal dihubungkan dengan program paket wisata Indonesia. Pembinaan UKM pengrajin secara profesional dan menyiapkan tempat untuk penjualan produk mereka sebagai salah satu tempat wisata seperti yang dilakukan Thailand, Vietnam dan China.