Lihat ke Halaman Asli

Lifestye atau Budayakah yang Membuat Kita Lupa Kebutuhan Anak?

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini untuk kesekian kalinya saya menemani anak saya "Javier" 1otahun, untuk latihan sepak bola di " Brazilian Football School". Anak-anak yang bergabung di club bola ini mayoritas memang mereka yang berusia 5 sampai 16tahun dan bersekolah di sekolah international ataupun nasional plus, dengan kata lain mereka sudah dipastikan berasal dari keluarga menengah keatas. Sebagian besar dari  merekapun anak-anak dari berbagai negara,  disini mereka tidak hanya belajar teknik bermain bola, tapi juga dituntut belajar bersosialisasi juga berbahasa asing khususnya bahasa ingris, karena secara otomatis pelajaran dan komunikasi antar teman menggunakan bahasa Ingris. Setelah hampir 4 tahun bergabung di club ini, akhirnya saya bisa melihat betapa mereka orang asing, sangat perduli dan support disetiap kegiatan anak-anak mereka. Waktu 4 tahun sangat cukup bagi saya untuk mengamati setiap gerak gerik anak maupun orang tua anggota club. Anak-nak berlatih setiap hari sabtu dan minggu jam 16.00 s/d 17.30 terkadang di bulan-bulan tertentu diadakan petandingan pesahabatan melawan club sepak bola junior di Surabaya ataupun melawan tim sekolah.

Rasanya waktu 1,5 sampai 2 jam untuk menemani, melihat perkembangan anak menyalurkan hobinya bagi saya tidaklah berat, dibandingkan dengan saat saya harus meninggalkan anak saya pagi-pagi sekali untuk bekerja dan baru kembali disaat ia sudah harus tidur, bahkan terkadang setelah sampai dirumah saya masih harus disibukan dengan urusan rumah tangga lainnya, sehingga waktu untuk bertemu bahkan bercengkrama dengan anakpun sangat minim sekali.

Beginilah kehidupan jaman sekarang,tuntutan kebutuhan saat ini memposisikan  kedua orang tua lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah dibandingkan bersama anak didalam rumah. Sehingga akhirnya anak juga dibuat sibuk dengan segala jenis kegiatan dengan dalih agar mereka mempunyai kegiatan positif diluar sekolah tanpa orang tua harus selalu mengawasi. Tapi mereka tidak sadar bahwa kegiatan-kegiatan yang super padat itupun semakin menjauhkan mereka dengan anak-anak dan merenggut waktu bermain si anak. Dan saat week end tiba para orang tua menggunakan waktunya untuk beristirahat dirumah, bahkan kebanyakan para wanita menghabiskan waktu di salon untuk memanjakan diri dan sang ayah sibuk dengan bengkel atau nonton tayangan olah raga favorit di tv.

Saya sering sekali mengurut dada, melihat 95% dari anggota club yang pribumi datang diantar supir maupun babysitter bahkan PRT, tidak pernah sekalipun ayah ataupun ibunya mengantarkan apalagi menemani sampai mereka selesai berlatih. Kalaupun ada mereka hamya mengantarkan sampai pintu gerbang lapangan, dan menjemputnya lagi setelah si anak menelepon minta untuk dijemput kembali. Hal ini juga berlaku pada saat anak-anak bertanding, hanya 3 dari 11 anak-anak pribumi yang orang tuanya hadir memberikan dukungan kalaupun mereka hadir, biasanya mereka berada diposisi terbelakang agar terjauh dari sinar terik matahari.

Berbeda sekali dengan anak-anak dari Australia,Belgia, Amerika, jepang maupun Korea. Para orang tua dan semua anggota keluarga hadir menjadi supporter bagi anak mereka. Dengan berbekal kursi lipat,tiker bahkan camilan dan minuman dingin, dengan semangatnya mereka memberikan dukungan dari pinggir lapangan.

Hal ini membuat saya bertanya, apakah budaya kita yang tidak membiasakan kebersamaan keluarga? padahal seingat saya dari SD saya selalu diajarkan kebersamaan keluarga atau memang lifestyle saat ini yang membuat orang tua tidak perduli lagi dengan kebutuhan anak. Mereka lupa bahwa kebutuhan anak tidak hanya sekedar dipenuhi secara materi maupun agama tapi juga perhatian dan dukungan orang tua merupakan point yang sangatlah penting terutama di usia-usia tumbuh kembang mereka.

Bagi saya, pada saat saya berani memilih menjadi ibu rumah tangga yang juga bekerja, saya harus bisa menerima konsekwensinya, bahwa saya mungkin akan kehilangan moment kebersamaan dengan anak, tapi saya pun tidak mau menyianyiakan waktu singkat yang saya punya, disaat saya bisa berada diantara kegiatan anak saya. Sudah menjadi komitmen saya dan ayahnya bahwa sesibuk apapun kami, bagaimanapun kondisi hubungan kami saat itu, bila menyangkut kegiatan dan keperluan anak kami akan sealalu ada dan hadir menjadi orang terdepan  yang mendukungnya. Karena bagi anak-anak tidak ada yang lebih membanggakan dirinya dibandingkan saat ia melihat orang tuanya tersenyum bertepuk tangan atas usaha yang dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline