Lihat ke Halaman Asli

Susahnya Menentukan Ranking 2

Diperbarui: 1 Maret 2017   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: distrodoc.com

Sebelum membahas judul diatas, saya baru saja memblok beberapa teman FB saya  karena perilaku yang secara umum tidak terpuji, yaitu tidak henti-hentinya membombardir laman saya dengan berita-berita yang nyata-nyata hoax dan bersumber dari situs berita abal-abal, tidak resmi, tidak pula terverifikasi. Bahkan seorang teman perempuan membagikan postingan yang isinya kurang lebih begini, “Kita main logika-logikaan aja deh. Apabila anak gadis kita punya teman dekat, bagus pekerjaannya, jujur, tidak suka mencuri, berintegritas baik, tapi mulutnya kadang suka bicara kasar, dan yang lebih prinsip lagi agamanya berbeda dengan kita, apakah kita akan mengizinkan anak gadis kita menikah dengan orang itu? Tentu tidak kan?” 

Oh my.....Apakah sampai sebegitunyakah Pilkada DKI ini merasuk kedalam nalar kita, terlebih untuk kita yang tidak ber-KTP DKI? Apakah sama kasusnya mencarikan jodoh buat anak gadis dengan memilih seorang gubernur untuk masa jabatan hanya lima tahun yang akan datang? Apakah analogi itu tepat? Apakah tidak lebih pas situasinya dengan kita naik pesawat? Seperti yang sering dicontohkan orang-orang, kita tentu lebih yakin dan merasa aman bila pilotnya lebih berpengalaman tanpa mempersoalkan agamanya, iya kan? Toh nanti setelah mendarat selesai pula urusan kita dengannya. Bedalah kasusnya beda pula situasinya.

Tidak berbeda dengan Grup WA, terpaksa saya meninggalkan, cabut dari beberapa grup karena isinya kurang lebih sama. Copas berita-berita atau membagikan link tulisan dari sumber yang tidak jelas, tanpa ricek tanpa tabayyun. Bertumpuk-tumpuk hingga memenuhi memori. Dalam waktu beberapa jam saja notifikasi pesan belum terbaca bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Belum lagi ancaman kepada anggota grup yang lain yang tidak sejalan atau sepemikiran, bahkan terhadap anggota yang hanya diam tidak berkomentar. Alasannya tidak berpihak kepada kebenaran adalah bathil, tidak ada netral tidak ada abstain. Naudzubillah, kebenaranpun telah dimonopoli oleh mereka dan teman-temannya yang sehaluan.

Hanya sementara, nanti bila demam Pilkada DKI ini telah reda dan isi FB tidak terlalu dominan lagi curhatan dari pakar-pakar politik dadakan itu, serta pembicaraan di grup WA telah sekitaran yang lucu-lucu atau sedikit saru saja lagi, maka tentu saya akan kembali bergabung, pada dasarnya saya merindukan itu.

Miris sekali memang. Padahal permasalahnnya adalah karena kita kesulitan menentukan siapa ranking dua. Itu saja.

Dalam banyak kejadian kita selalu saja kesulitan menentukan peringkat kedua ini. Contoh. Kita tentu menginginkan karyawan yang kinerjanya baik, tugas-tugas dapat selesai tepat waktu, kesalahannya juga sedikit dan sumir serta ketaatannya pada jam masuk kantor juga tinggi, terlihat dari jam yang bersangkutan melakukan absensi pada mesin fingerprint juga cocok, tidak ada yang terlambat atau bahkan blank, alias tidak masuk. Ini ranking satu. Nah ranking dua-nya apakah kita akan menempatkan karyawan dengan kinerja baik tapi sering bolos atau karyawan yang rajin masuk kantor tapi kinerjanya kurang? 

Pernah dalam sebuah pengajian sang ustadz menyampaikan kajian mengenai sedekah, infak. Bahwa yang terbaik adalah infak dalam jumlah yang besar dan ikhlas. Ini ranking satu. Nah ranking duanya apakah yang bersedekah sedikit ikhlas atau yang banyak tapi tidak ikhlas?

Pun dalam hal mencari rumah tempat tinggal. Bila dapat rumah yang dekat dengan tempat kerja terus jalannya luas bisa masuk mobil tentulah itu yang diidam-idamkan. Tapi bila karena ketersediaan dana yang terbatas kita terpaksa memilih maka pilihannya adalah rumah yang lebih jauh tetapi jalannya luas atau yang lebih dekat tetapi hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor.

Akhirnya tibalah contoh ini pada Pilkada DKI ini, bila ada calon yang baik kinerjanya, baik pula integritasnya, lemah lembut tutur katanya, dan seiman pula dengan kita, maka pilihlah itu, itu ranking satu. Lalu siapa yang menempati ranking dua? Apakah yang kinerjanya baik, berintegritas, jujur, tidak menzalimi dirinya sendiri dan orang lain walaupun bicaranya kadang kasar dan menyakitkan serta tidak seiman dengan kita? Atau yang halus tutur katanya, enak dilihat wajahnya, dan yang jelas seiman dengan kita walaupun tidak pernah tau kita apa prestasinya dan banyak catatan buruk dalam sejarah karirnya?

Tapi bukannya sudah ada perintah Allah jangan memilih pemimpin kafir?

Kalaupun benar tafsir perintahNya adalah seperti itu, lantas seperti apa definisi kafir? Akan panjang sekali pembahasan soal ini. Semua orang akan mendadak mufassir, ahli tafsir. Tapi apakah kita akan memberikan tampuk kepemimpinan kepada gembong ISIS misalnya? Yang setiap saat bisa saja menghabisi anak-anak kita, membumihanguskan kampung halaman kita? Apabila alasannya hanya karena seiman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline