Lihat ke Halaman Asli

Mengharap Rupiah dari yang Nikah, Bolehkah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13889661411012042129

Begitu para kepala KUA mogok karena tidak diperkenankan menerima amplop, langsung Kementerian Agama bergerak cepat membuat rancangan aturan yang rencananya akan mensyahkan penerimaan tersebut. Diaturlah tarifnya, kalo nikah di KUA Rp 50.000,- nikah di luar KUA Rp 400.000,- di gedung Rp 1.000.000,-

Kalau biaya nikah di KUA Rp 50.000,- bolehlah, nikah di luar KUA Rp 400.000,- masih boleh jugalah, walaupun jaraknya dari KUA hanya 50 meter misalnya inipun tak mengapa, tapi kalo menikah di Gedung trus biayanya menjadi Rp 1 juta? Apa alasannya? Apa kalu menikahkan di gedung lantas menjadikan Penghulu/Kepala KUA menjadi lebih capek? Pasti bukan itu alasannya, dapat diduga asumsinya adalah yang menikahkan di gedung pastilah orang yang lebih mampu hingga wajar ditarif lebih tinggi. Bisa jadi demikian tapi jaman sekarang tidak setiap yang menikahkan anaknya di gedung adalah orang yang lebih mampu, sebagian diantaranya karena keterbatasan tempat di rumah sehingga terpaksa mengacarakan di gedung juga walau sederhana, semisal balai RW, aula kantor tempat orangtuanya bekerja, atau tempat pertemuan lain yang bisa digunakan dengan biaya murah.

Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan dan pemungutan biaya tersebut. Apakah harus setor ke bank setelah diberi pengantar pembayaran oleh Penghulu/Kepala KUA? Ataukah Penghulu/Kepala KUA boleh menerima langsung atau melaui Bendahara Penerimaan yang ada di Kantor Kementerian Agama. Pun dengan teknis penggunaannya, kalau diterima langsung oleh Penghulu apakah itu menjadi penghasilan beliau atau harus tetap disetor ke Kas Negara sebagai PNBP terlebih dahulu, baru ditahun berikutnya diserahkan kembali ke KUA yang bersangkutan dalam bentuk DIPA.

Apabila biaya tersebut diserahkan kepada Penghulu/Kepala KUA dan seketika itu juga menjadihaknya sebagai penghasilan tambahan, maka sebenarnya itu tetaplah termasuk gratifikasi, hanya saja legal. Tetapi bila uang tersebut harus masuk terlebih dahulu ke Kas Negara ada kemungkinan para Penghulu tersebut tetap akan keberatan karena begitu masuk Kas Negara belum jelas juga mekanisme penyerahannya kembali kepada Penghulu/Kepala KUA yang bersangkutan

Ada keseragaman alasan yang dikemukakan oleh para kepala KUA tersebut, yaitu pekerjaan tersebut dilakukan di luar jam kerja, biasanya hari libur dan di luar kantor dengan demikian sudah selayaknya para pihak yang dilayani memberikan imbal jasa berupa uang transport yang jumlahnya juga (menurut mereka) tidak seberapa.Sepengetahuan saya para Kepala KUA tersebut adalah PNS, dan untuk melaksanakan pekerjaan itulah makanya mereka digaji.Saya tidak mengatakan bahwa pekerjaan KUA hanya mencatat pernikahan orang saja, tapi keyakinan saya inilah porsi terbesar dari pekerjaannya, nah, kalau untuk melaksanakan pekerjaan ini masih minta imbalan lagi lantas gaji yang diterima itu sebagai imbalan atas apa? Atas prestasi yang mana?

Yang bekerja di hari libur dan di luar kantor bukan hanya penghulu/Kepala KUA saja, lebih banyak lagi profesi lain yang seperti itu, tenaga medis, tetap bekerja di hari libur, polisi lalu lintas bahkan setiap hari bekerja di luar kantor, apa lantas semua yang seperti ini harus diberi sesuatu lagi?

Dalam salah satu tulisandi Kompasianan ini(Sdr. Abd, Ghofar Al Amin dalam tulisannya http://hukum.kompasiana.com/2013/12/18/ketika-penghulu-para-terganjal-amplop-620494.html)yang juga menyoroti hal ini saya memberikan komentar tentang masih adanya Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di desa-desa, yang mereka ini bukanlah PNS tetapi tokoh masyarakat setempat yang diberi tugas oleh Kemenag untuk membantu melaksanakan pencatatan pernikahan. Ternyata menurut penulisnya tugas P3N adalah mendampingi Kepala KUA (penghulu) pada waktu melaksanakan pernikahan.Saya juga bingung apakah tugas menikahkan ini (atau kadang tidak menikahkan tapi hanya menyaksikan dan mencatat, karena yang berkewajiban menikahkan sesungguhnya orang tua mempelai wanitanya) sebegitu beratnya hingga butuh didampingi segala? (Sekedar pengalaman, pada waktu saya menikah Penghulu/Kepala KUA hanya datang dan menyaksikan saja, karena yang menikahkan saya adalah ayah dari calon isteri saya waktu itu, kemudian yang membacakan khutbah nikah dan sekaligus tausiyah, keluarga isteri memanggil lagi Kiyai dari pesantren dekat rumah).

Usul saya dalam tulisan tersebut adalah agar para P3N ini diberi kewenangan lebih yaitu kewenangan yang sama seperti yang dimiliki oleh Kepala KUA dalam hal pencatatan pernikahan, tetapi hanya terbatas di desanya saja. Selanjutnya dia berkewajiban melaporkan dan mencatatkan setiap pernikahan yang dilaksanakan/disaksikan olehnya ke KUA secara periodik. Dengan pertimbangan karena P3N ini bukan PNS maka tidaklah salah kalau dia menerima pemberian dari keluarga pengantin yang dinikahkannya. Dengan demikian tugas kepala KUA juga menjadi lebih ringan karena hanya menikahkan orang yang memang ingin menikah di KUA saja sehingga tidak perlu keluar biaya transport.

Usul ini tidak ditanggapi! Kecurigaan saya (mudah-mudahan ini tidak benar) para Penghulu/Kepala KUA ini memang mengharapkan pemberian dari keluarga yang menikah tersebut dan dengan berbagai alasan mengatakan itu bukan gratifikasi laluminta dilegalkan. Kalau tidak, tentu dengan penambahan kewenangan kepada para P3N tadi masalah ini tidak akan timbul. Soal dasar hukumnya kalau belum ada, ya dibuat.

Sebenarnya Kementerian Agama sendiri telah melakukan kajian tentang besaran biaya nikah ini sebagaimana didalam tulisan ini http://blajakarta.kemenag.go.id/executive-summary/106-biaya-riil-dan-ideal-pencatatan-nikah-di-kua-di-berbagai-wilayah-indonesia-bagian-barat.htmlmenurut saya kalau memang sudah diketahui besaran biaya yang dikeluarkan oleh seorang penghulu untuk menikahkan sepasang mempelai sesuai kajian tersebut maka diusulkan saja untuk dimasukkan ke dalam DIPA KUA yang bersangkutan. Kepada masyarakat yang akan menikah diminta membayar sejumlah uang yang besaran tarifnya ditentukan oleh pemerintah.

Jadi, banyak sekali jalan keluar untuk penghulu/Kepala KUA yang bersangkutan tidak lagi menerima gratifikasi, diantaranya:

Pertama:Tingkatkan tugas dan wewenang P3N sehingga Penghulu hanya menikahkan orang di kantor saja, selebihnya oleh P3N;

Kedua: biaya menikahkan pasangan di luar kantor dan/atau di luar jam kerja dibebankan kepada APBN/DIPA KUA yang bersangkutan dalam bentuk biaya perjalan dinas dan uang saku, dan kepada masyarakat yang membutuhkan jasa penghulu/kepala KUA untuk menikahkan diluar KUA dan/atau diluar jam kerja dikenai biaya yang tarifnya diatur dengan ketentuan perundang-undangan dan dibayarkan di bank atau bendahara penerimaan Kantor Kementerian Agama.

Setelah ketentuan ini diterapkan penghulu/Kepala KUA tidak boleh lagi menerima sesuatu dari keluarga yang punya hajat.

Apakah dengan cara seperti ini permasalahan tersebut biasa diatasi? Insya Allah bisa, kalo memang ada niat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline