Lihat ke Halaman Asli

Tawuran Itu Kebanggaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Judul diatas bukanlah omong kosong belaka, bukan pula usaha membuat judul yang bombastis agar artikel ini di minati banyak orang.  Saya hanya berusaha memandang secara sederhana dari sudut pandang yang mungkin "kurang diminati" penulis-penulis kompasiana yang lain.

Saya hidup selama lebih dari 20 tahun di lingkungan yang membangga-banggakan tawuran dan aksi kekerasan. Saya tahu bagaimana rasa bangga menjadi seseorang yang disegani karena pandai berkelahi, pernah mencederai lawan tanding, atau bahkan membunuh orang. Saya tahu betul bagaimana remehnya hukum dan asas kemanusiaan di mata orang-orang  yang mendewakan kekerasan ini.

Di tempat saya hidup selama 20 tahun itu bukanlah hal sulit untuk menyulut bentrokan massa. Anda hanya cukup menginjak kaki salah satu penonton dalam sebuah konser musik (misalnya), maka akan ada huru-hara yang sangat meriah setelahnya.
Ya, sebuah event yang seharusnya menyenangkan bisa berubah seketika menjadi kerusuhan. Konser musik, pertandingan sepak bola, bahkan acara pernikahan, semua berpotensi besar menyulut kerusuhan di sini.

Dan yang paling memperihatinkan, seringkali kerusuhan yang terjadi hanya akibat dari sesuatu yang sangat remeh dan sangat tak pantas ada korban yang menjadi tumbalnya. Hanya karena saling senggol dan berdesakan saat menonton konser musik, bisa belasan korban jiwa melayang sebagai akibatnya. Bagi mereka tawuran memang sebuah kesenangan dan kepuasan tersendiri. Mereka bangga menjadi aktor-aktor dalam adegan kekerasan ini.

Apa buktinya tawuran itu adalah kesenangan bagi mereka? Kita lihat saja kerusuhan yang terjadi dalam sebuah konser musik misalnya, "persiapan perang" selalu tak butuh waktu lama. Coba tanyakan, darimana mereka mendapatkan belati, parang dan golok sebagi "senjata perang" mereka kalau bukan memang sudah dipersiapkan sejak awal sebelum menonton konser? Coba pula pikirkan, apa yang ada dalam benak mereka kalau untuk menonton konser musik saja mereka harus membawa golok, parang dan belati? Para prajurit-prajurit perang itu memang selalu siap dengan segala persenjataannya sewaktu-waktu perang meletus.

Ini cukup membuktikan bahwa tawuran dan segala macam aksi kekerasan sudah menjadi tujuan bagi mereka, seperti kegiatan yang menyenangkan yang harus diadakan dalam setiap kesempatan yang ada, kalau perlu cari-cari kesempatan.

Lalu apakah yang harus kita lakukan? Apakah memenjarakan mereka sebagai seorang pelaku kriminal bisa menghentikan mereka?

Jawabannya adalah mutlak tidak. Bagi orang seperti mereka, masuk penjara bukanlah aib tapi sebuah prestasi. Mereka akan bangga dan tambah disegani apabila sudah menyandang gelar residifis. Mereka dan kelompoknya justru akan menjadi-jadi melakukan kejahatan setelah keluar dari penjara, karena saat itu mereka makin disegani sehingga dipastikan tidak banyak orang yang berani melawan.

Begitulah kenyataan yang terjadi di tempat tinggal saya, dimana saya hidup selama 20 tahun lebih di tempat itu. Apa yang salah dengan semua ini? pasti ada yang salah.

Sebagian orang di tempat tinggal saya itu memilih beropini bahwa semua ini adalah salah Pemerintah dan segenap jajarannya, karena rakyat tidak pernah salah, yang salah adalah pemerintah.

Saya setuju saja dengan opini ini, karena saya hanyalah rakyat yang memang tidak pernah salah. Lagipula siapa yang berani mengatakan tidak setuju dengan opini seperti ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline