Lihat ke Halaman Asli

Abdul Haris

Penulis otodidak, tak pernah berhenti belajar

Mengapa Bangsa yang Tidak Religius Justru Lebih Bermoral?

Diperbarui: 3 Februari 2025   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koruptor dan Pengkhianat di negara Religius (Sumber: Pinterest, ilustrator: Dimas Fajri) 

Ketika membandingkan bangsa-bangsa di dunia, sering kali kita menemukan fenomena yang tampak bertolak belakang: negara-negara yang tidak mengutamakan agama dalam kehidupan bernegara justru memiliki budaya yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebersihan lingkungan. Sementara itu, di banyak negara yang secara eksplisit menjadikan agama sebagai pedoman moral dan kehidupan sosial, justru kita melihat tingginya angka korupsi, pelanggaran hukum, serta rendahnya kesadaran terhadap kebersihan dan ketertiban umum.

Fenomena ini tentu mengundang pertanyaan besar: mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah agama seharusnya menjadi sumber moralitas yang paling kuat? Mengapa justru negara-negara yang lebih sekuler memiliki masyarakat yang lebih disiplin dan menjunjung etika sosial?

1. Agama vs Budaya Moral

Secara teori, agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, termasuk kejujuran, disiplin, dan kepedulian terhadap sesama. Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang religius justru menjadikan agama sebatas identitas dan formalitas, bukan sebagai pedoman dalam kehidupan nyata. Agama lebih sering digunakan sebagai alat legitimasi politik dan sosial, bukan sebagai pemandu perilaku individu.

Sebaliknya, negara-negara yang tidak terlalu menekankan agama dalam sistem pemerintahan mereka cenderung lebih fokus pada pembangunan budaya moral yang bersifat universal, seperti transparansi, etika kerja, dan kepedulian terhadap lingkungan. Mereka menanamkan nilai-nilai ini melalui sistem pendidikan, kebijakan publik, serta penegakan hukum yang konsisten.

2. Mengapa Indonesia Penuh dengan Korupsi, Pengkhianatan, dan Ketidakjujuran?

Jika kita melihat sejarah, budaya korupsi dan pengkhianatan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial, banyak pejabat pribumi yang menjadi kaki tangan penjajah demi keuntungan pribadi, bahkan dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Budaya "asal selamat" dan "cari aman" telah terbentuk sejak lama, di mana banyak orang lebih mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan bersama.

Setelah merdeka, praktik korupsi semakin mengakar karena lemahnya sistem hukum dan tingginya budaya patronase---di mana seseorang bisa memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukan karena kemampuan atau integritas, tetapi karena kedekatan dengan elite penguasa.

Hal ini juga diperparah dengan mentalitas feodal yang masih kuat, di mana banyak orang menghormati seseorang bukan berdasarkan kejujurannya, tetapi karena status dan kekayaannya. Akibatnya, banyak pejabat yang merasa bahwa mereka bisa menyalahgunakan jabatan tanpa konsekuensi yang berarti, karena masyarakat lebih cenderung tunduk pada kekuasaan daripada menuntut keadilan.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang menganggap mengambil hak orang lain sebagai sesuatu yang wajar selama tidak tertangkap. Contoh kecil seperti mencuri listrik, menerobos lampu merah, atau mencontek di sekolah menunjukkan bahwa sejak dini, banyak masyarakat kita sudah terbiasa dengan perilaku curang tanpa rasa bersalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline