Tajuk Newsantara – Indonesia seolah tergetar oleh keberadaan organisasi bernama Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Bagaimana tidak, selama tiga minggu ini khalayak disuguhkan pemberitaan kontroversial tentang organisasi berlambang matahari terbit itu.
Seorang dokter cantik bersama anaknya yang dikabarkan hilang sejak akhir tahun 2015, adalah awal cerita berbuntut berita yang menghebohkan khalayak pada awal tahun ini. Laporan demi laporan orang hilang pun kemudian mencuat ke permukaan, berbagai media menampilkan Gafatar sebagai pihak yang bertanggung jawab akan hal itu. Meski pada akhirnya sang dokter bersama anaknya sudah ditemukan dan bersedia kembali pulang, kehebohan tidak berhenti sampai disitu.
Tidak tanggung-tanggung, sampai dengan tulisan ini dibuat, tercatat lima ribuan warga eks-Gafatar kini telah diungsikan ke daerah asalnya masing-masing pasca tragedi pembakaran pemukiman Gafatar di Desa Motong Panjang, Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa, (19/1/2016). Mereka diungsikan karena dituduh meresahkan masyarakat.
Terlepas pro kontra yang muncul, nyatanya getaran berita tentang mereka mampu membenamkan pemberitaan Munas salah satu partai besar berlambang pohon beringin negeri ini, ancaman teror Bom Sarinah, hingga korban meninggal akibat racun sianida. Media pers nasional pun berlomba-lomba memunculkan kontroversi Gafatar sebagai headline.
Ada apa dengan Gafatar?
Sejatinya, di tengah kegaduhan sosial, budaya, keamanan dan ekonomi di Indonesia saat ini. Ada keunikan yang bisa disematkan kepada Gafatar. Selama lima tahun eksistensinya, Gafatar memang dikenal sebagai ormas yang bergerak di bidang sosial dan budaya.
Beragam aksi seperti donor darah, pembangunan rumah ibadah, cek kesehatan gratis dan gotong royong membersihkan lingkungan adalah aksi rutin mereka yang sudah jarang terjadi di masyarakat. Memang benar, pemerintah juga memiliki program yang sama. Namun, seringkali kesamaan program tersebut selalu menyerap dana besar. Sangat berbeda dengan Gafatar yang secara mandiri melalui iuran masing-masing anggotanya mampu menggulirkan program yang selama ini seolah melulu terkendala masalah dana.
Di bidang budaya, Gafatar menampilkan Nusantara sebagai jargon kebudayaan yang menurut mereka adalah budaya asli negeri ini yang kini telah pudar digempur budaya asing (Barat, Timur dan Timur Tengah). Budaya toleransi, gotong royong, musyawarah, dan cinta damai telah mereka klaim sebagai inti budaya Nusantara yang kini sudah memudar sehingga harus dipoles kembali. Perihal ini, mereka memolesnya secara rutin melalui kegiatan apresiasi budaya, kajian ilmiah, dialog kebudayaan hingga seminar kebangsaan.
Melihat kondisi keamanan Indonesia saat ini, rasanya sulit bersikap tenang dari ancaman kejahatan seperti kekerasan, pembunuhan, perampokan, pelecehan seksual hingga korupsi. Namun, Gafatar berani menampilkan dirinya sebagai organisasi yang menjamin keamanan berlandaskan komitmen seluruh anggotanya untuk tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak berdusta melalui janji anggota yang harus mereka ikrarkan.
Saat ini, rasanya sulit bagi bangsa bermental konsumeris untuk menghadapi persaingan ekonomi bebas. Gafatar menerobos hal itu dengan memberikan program kemandirian ekonomi kepada seluruh anggotanya melalui beragam pelatihan di bidang usaha kecil dan menengah. Contohnya adalah seperti pelatihan pembuatan bakso, susu kedelai, es krim, dan produk jajanan sehat lainnya. Singkatnya, mereka ingin mengubah anggotanya yang sebelumnya bermental konsumeris menjadi produktif atau berjiwa wirausaha.
Luar biasanya, pasca bubarnya Gafatar pada pertengahan Agustus 2015 akibat tekanan penolakan dari berbagai daerah. Mereka (eks-Gafatar) tetap bertekad untuk menjadikan kedaulatan pangan sebagai program andalan mereka yang diwujudkan dalam sektor agrobisnis atau mengelola pertanian secara profesional, membangun lahan tidur menjadi lahan subur di Kalimantan.