“Kamu itu dikasih tahu kok ga mau nurut,” kata ibu sambil mengguncang-guncang kepala saya. Itu terjadi puluhan tahun lalu, ketika pertama kali saya memiliki hak untuk berpolitik secara aktif. Saat itu hanya 3 (tiga) partai politik, dan karena melihat situasi yang ada saya memiliki pandangan yang berbeda dengan ibu saya. Saya mengungkapkan keinginan saya untuk mengikuti pawai kampanye salah satu partai yang berbeda dengan yang diyakini ibu. Dan itulah yang terjadi, di teras rumah saya diguncang kepala oleh beliau karena perbedaan. Namun berbeda dengan Ibu, almarhum Bapak saya waktu itu dengan lebih bijak mengatakan, “Kalau bisa, pawainya ikut yang ibu mau, tapi kalau milihnya terserah kamu.”
Saya memiliki keyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berpolitik. Dan melalui tulisan ini juga saya sedang berpolitik. Agar terwujud situasi yang baik, secara konstitusi hak berpolitik warga negara diatur undang-undang. Di bawah usia 17 tahun, hak politik warga negara adalah pasif, sementara bagi mereka yang usianya di atas 17 tahun diberikan hak untuk aktif berpolitik. Namun demikian, setelah berusia 17 tahun banyak juga yang memilih untuk tetap berpolitik secara pasif.
Tidak salah, namun peran politik setiap warga negara dibutuhkan, dan alangkah baiknya jika perannya itu diwujudkan secara aktif. Namun seperti banyak disampaikan oleh para tua-tua saya kenal, mereka cenderung berpandangan bahwa politik itu kotor, politik itu tidak baik. Hal ini terjadi karena mereka yang baik, dan tidak suka terjadinya konfrontasi akhirnya memilih itu tidak terlibat dalam persaingan yang terjadi. Hal ini sedemikian ditambah dengan kelakuan mereka-mereka yang karena kedekatan dengan keaktifan perpolitikan bertindak tidak cukup baik dan tidak mendapat teguran yang memadai. Itulah sebabnya ketika saya mengungkapkan keinginan saya untuk masuk dalam sebuah ormas under bow dari salah satu partai politik, almarhum Bapak saya mengatakan, “Nanti saja kalau kamu sudah cukup punya tabungan, sehingga ketika kamu aktif berpolitik kamu tidak makan uang rakyat.”
Dalam hemat saya politik semestinya adalah policy for polis, kebijakan untuk kota. Segala silang pendapat dalam dunia politik semestinya dimaksudkan demi kemaslahatan penduduk kota, dan bukan keuntungan segelintir orang saja. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam KBBI, bahwa politik merupakan segala urusan dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintahan. Baik sebagai operator pemerintahan maupun sebagai pengguna kebijakan sama-sama terlibat dalam politik.
Berkomentar atau tidak terhadap suatu kebijakan, menurut atau tidak terhadap peraturan yang ada, kita tetap sedang berpolitik. Mulai dari lahir hingga masuk liang kubur kita berpolitik. Hanya banyak yang tidak sadar bahwa dengan kepasifannya dalam berpolitik menyebabkan segelintir orang yang haus penghargaan dan harta dunia memanfaatkan mereka demi diri sendiri. Banyak sudah parodi tentang wakil rakyat maupun abdi negara, semua dilakukan dalam usaha tidak terlalu pasif dalam berpolitik, mengerem laju keserakahan segelintir orang. Tapi kalau hidup sudah tanpa hati mau bagaimana? Bagaimanakah lagi cara mengetuk hati para pemeran utama dunia politik?
Kita juga berperan walau hanya figuran, peranan kita juga penting, karena tanpa kita, aksi dan lawakan yang dimainkan pemeran utama juga tidak akan ada kesannya. Kita bukan penonton di negeri ini, kita berperan, bayar pajak salah satu buktinya, yang digunakan salah satunya untuk membayar para pemeran utama panggung politik. Kalau kebijakan pro kita, maka kita boleh bersorak senang, namun kalau tidak pro kita, maka kita juga bisa berteriak keras menghujat.
Mengingat bahwa setiap orang berperan dalam politik dan bahwa setiap orang memiliki pengaruh terhadap lingkungannya, maka komentar kita baik positif maupun negatif akan mempengaruhi situasi politik sekitar kita. Komentar-komentar kita yang kita lontarkan, umumnya verbal, baik kesetujuan maupun ketidaksetujuan kita terhadap situasi perpolitikan tentu akan menjadi bahan pertimbangan orang lain disekitar kita dalam pertimbangan berpolitik mereka. Contoh pengalaman pribadi di awal tulisan ini berusaha menggambarkannya.
Jangan kita merasa tabu dengan politik. Mari kita berpolitik yang benar. Karena kesejahteraan kita bersama tergantung bagaimana kita memainkan bidak politik kita sendiri. Dan seandainya Sang Khalik Semesta berkenan memberikan kelebihan dimana kita memiliki kapasitas berpolitik lebih dari yang lain, itupun tidak kita gunakan semena-mena, tidak digunakan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu atau bahkan untuk keuntungan pribadi yang sifatnya sementara mengingat hidup kita di dunia ini yang sementara.
Sebentar lagi, tidak lama lagi, kita akan dipanggil pulang Sang Khalik Semesta dan diminta pertanggung jawaban atas kepercayaanNya kepada kita termasuk tanggung jawab untuk mensejahterakan sesama kita di negeri dan bumi ini. Bertobatlah para pemain utama politik di panggung Indonesia, kembalilah ke jalan kebenaran dalam berpolitik dan jangan saling sikut, jalang saling jegal. Politik yang sesungguhnya bukan tentang para pemain utama, yang dipercaya sementara menjadi pemeran utama panggung politik, politik ini untuk seluruh untuk kemaslahatan masyarakat luas. Awas, mata Sang Khalik Semesta tidak tertutup. Dia melihat bahkan yang kita lakukan secara tersembunyi.
Barito Timur, 23 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H