Lihat ke Halaman Asli

Liberal Arts: Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Diperbarui: 17 Februari 2016   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Semua orang berhak atas kesempatan kedua."][/caption]“Posisi terakhir sebagai Dosen Liberal Arts.” Begitulah salah satu frasa yang tertulis dalam surat keterangan yang diberikan dari tempat saya bekerja sejak 2008-2013. Alih-alih mengerti seni, gambar yang dibuat anak saya jauh lebih baik dari gambar yang saya buat. Jadi tentu Liberal Arts bukanlah sebuah pelajaran seni, walaupun dalam mengajarnya membutuhkan seni.

Saya cukup yakin bahwa istilah dan pengertian Liberal Arts memang asing di telinga kebanyakan orang Indonesia. Liberal Arts adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu paradigma pendidikan, yang saat ini masih aktif diterapkan pada pendidikan dunia barat, khususnya Amerika.

Liberal Arts adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin Artes Liberales yang seharusnya diketahui oleh manusia yang bebas, yang dikontraskan dengan masa perbudakan pada abad pertengahan. Paradigma pendidikan ini tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan ekonomis yang memperkaya hidup pribadi, lebih dari itu dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik mengejar ilmu dengan penekanan pada tanggung jawab sosial yang mengutamakan etika dan nilai, sehingga dapat diabdikan pada umat manusia. Larry Cress mengatakan, “The purpose of a Liberal-arts education is not to make you employed at 22, but to make you interesting at 42.

Paradigma pendidikan ini menggunakan tujuh kelompok ilmu, yang dibagi dalam dua bagian, Bagian pertama dikenal dengan Trivium atau artes triviales yang menjadi pelajaran penting, yang menjadi ilmu dasar, yaitu Grammar, tata bahasa yang menjadi seni membuat dan mengkombinasikan simbol, Dialectic atau Logic yang menjadi seni berpikir dan Rhetoric yang merupakan seni berkomunikasi. Sementara bagian keduanya disebut sebagai Quadrivium atau artes quadriviales yang terdiri atas Aritmatika, Geometri, Astronomi, dan Musik. Pendidikan dengan paradigma ini menghantarkan peserta didik untuk mengarungi dunia ilmu seluas ilmu itu sendiri. Belajar sejauh mereka mau belajar, bahkan peserta didik di dorong menyelami kedalaman dan keluasan ilmu yang mereka mau tekuni.

Di Indonesia, pendidikan dengan paradigma Liberal Arts ini tidak akan cukup laku dipasarkan ketika cara berpikir pragmatis dan praktis masyarakat yang difasilitasi pemerintah tidak berubah. Bila pendidikan hanyalah alat untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, maka yang dibutuhkan adalah pendidikan praktis yang mempersiapkan pekerja siap pakai.

Tidak heran jika pendidikan vokasional akan lebih diminati, karena menjanjikan harapan jangka pendek untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Namun demikian, untuk menjaga agar rakyat negeri ini tidak hanya dijadikan pekerja di tanahnya sendiri, maka pendidikan yang membangun manusia seutuhnya ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Secara praktis, ketika saya mendampingi anak-anak saya belajar, saya menemukan bahwa mereka belajar hal-hal yang jauh di atas yang mereka perlukan. Misal: PPKN kelas IV SD berisi tentang struktur, fungsi dan jumlah aparatur negara DPR, MPR, DPD, MA, MK, KY, dan lain-lain. Komentar seorang rekan, “Iya anak-anak kita mau dijadikan politikus menggantikan yang ada.” Pasti, mau tidak mau, mereka akan menggantikan generasi tua. Namun apakah sekarang saatnya mereka belajar tentang semua itu? Apakah semuanya hanya akan menjadi politikus?

Jangankan berbicara politik, berbicara tersturuktur sesuai kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar saja mereka masih bingung. Jangankan memikirkan politik, memikirkan apa yang perlu mereka lakukan sepulang sekolah saja mereka enggan, kecuali berpikir tentang main, mainan dan bermain. Jangankan itu semua, tulisan saya sudah jelek, tulisan mereka lebih lagi. Tetapi semua orang tua berlomba agar anaknya mampu semuanya, les pelajaran A, B hingga Z, tanpa peduli anaknya sudah kelelahan belajar dengan kurikulum yang melampaui kemampuan alamiahnya. Pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, pendidikan hanya mempersiapkan budak intelektual yang mampu bekerja bagi pemilik modal.

Mereka hanya perlu tiga kemampuan dasar, membuat dan mengkombinasikan simbol baik huruf, angka maupun simbol-simbol lain, berpikir lurus terstruktur sebelum diajarkan berpikir kritis dan divergen, serta budaya menangkap dan menyampaikan informasi dalam komunikasi yang sehat baik secara lisan maupun tulisan. Hanya itu yang dibutuhkan pada tingkat dasar. Selanjutnya sesuai dengan ketertarikan masing-masing individu, dilengkapilah dengan ilmu-ilmu praktis. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang hidup sesuai dengan panggilannya. Disinilah sebenarnya pentingnya pendidikan berparadigma Liberal Arts. Tuntun mereka mendapatkan ilmu dasarnya, biarkan mereka yang berkreasi. Suatu saat mereka akan memimpin negeri ini dengan kreasi yang manusiawi.

Barito Timur, 16 Februari 2016, 01:16WIB




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline