Kami baru saja meninggalkan kedai kopi sejauh 50 meter, ketika hangatnya matahari sore masuk ruang pandang kami. Aku tersenyum tenang sambil memejamkan mata. Selalu suka hangat matahari jam 4 -- 5 sore. Hangat yang selalu bisa menerbitkan senyum.
Lamat-lamat terdengar suara Tulus. Memenuhi ruang dengar kami. Memenuhi indra kami. Langit Abu-abu. Aku suka lagu-lagu Tulus. Monokrom, Sewindu, Jangan Cintai Aku Apa Adanya, gajah, Manusia Kuat, Ruang Sendiri, 1000 Tahun. Rasa-rasanya bukan hanya lagunya, suara Tulus juga. Aku suka suara Tulus, apa pun lagu yang dinyanyikan. Suaranya seolah membawa aku ke tempat yang berbeda, berkelana ke pengalaman berbeda.
Mobil membelok ke kanan, menyusuri jalan raya yang dipenuhi kesibukan sore di suatu Minggu yang cerah. Matahari sore ada di belakang kami, kini. Hangat merayap di punggung kami. Suara Tulus membuai kami. Terutama, aku. Cerahnya langit yang birunya lebih biru dari biasanya, awan awan yang bergerak dari tepian, udara yang bersahaja dan kami yang tetap bermasker.
Tak mungkin secepat itu kau lupa, air mata sedihmu kala itu. Mengungkapkan semua kekurangannya, semua dariku yang tak dia punya.
Ingatan perlahan mundur ke masa SMA, puluhan tahun lalu. Musik yang mengalun dan hangatnya matahari sore, mengantarkan aku ke masa itu. Ingatan bergerak cepat ke masa putih abu-abuku yang berjalan sangat singkat seperti kedipan mata. Sekedip yang sekejap. Sekejap yang sangat cepat. Lebih cepat dari kecepatan cahaya. Ingatan itu memperlihatkan koridor sekolah dengan kesibukan waktu istirahat. Ada yang bergegas menuju kantin. Ada yang menuju toilet. Ada yang sudah meninggalkan kantin, menuju kelas. Ada yang berlarian saling mengejar. Kejar-kejaran, tanpa memikirkan akan keringatan setelah waktu istirahat. Aku melihat diriku berjalan menuju kelas. Dengan senyum tersungging di wajah, aku menunduk melihat rok abu-abu selututku sambil menyentuh namaku yang dibordir di bagian kiri seragamku. Sebagian siswa sedang menuju tempat duduknya masing-masing. Yang lain sudah siap belajar, yang sebelumnya berkejar-kejaran mulai berkipas menggunakan buku, kelelahan. Tawa menular di antara mereka.
Dalam kenangan tersebut, aku melihat dia. Teman sekelas sekaligus teman belajar kelompok sekaligus sahabat sekaligus dia; dia yang perlahan mulai kusukai. Dia sedang berbincang dengan beberapa kawan di dua barisan meja dan bangku bagian belakang kelas kami. Salah satu dari mereka tampaknya melontarkan lelucon yang disambut tawa membahana mereka. Melihat senyumnya, merupakan pemandangan menyenangkan sekaligus mendebarkan, saat itu. Duh..
Daya pikat yang engkau punya, sungguh-sungguh ingin aku lindungi. Dan setelah luka-lukamu reda, kau lupa aku juga punya rasa. Lalu kau pergi kembali dengannya. Aku pernah menyentuhmu, apa kau malu. Di bawah basah langit abu-abu, kau dimana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana?
Rindu datang begitu saja setelah hangatnya matahari sore dan suara Tulus hadir. Rindu. Merindu pada dia.
***
Kami mulai menebarkan pandang dan mencari penjual duku yang biasanya berjualan di pinggir jalan. Hangatnya matahari sore memenuhi punggung kami. Setelah melewati 3 orang penjual yang agak berjauhan, akhirnya kami memutuskan berhenti di salah satu diantara 2 orang penjual duku yang lapaknya berdekatan. Posisi jualan satu dengan lainnya hanya sejauh 10 meter.
Sambil bergerak keluar dari mobil, adikku bertanya berapa banyak yang harus dibeli. Sambil lalu, aku berkata,"Tiga kilo. Beli saja 3 kilo."