Rumah Gerobak
Sore tadi, aku dalam perjalanan menemui Elen menggunakan TransMusi ketika hujan lebat turun. Pun, ketika transit dan berganti TransMusi, hujan menderas. Arus kendaraan melambat di simpang Sekip. Bukan hanya melambat. Malah terhenti.
Dua mobil polisi terparkir di ruas jalan. Sehingga setiap kendaraan menuju pusat kota harus berbalik arah atau memutar ke arah lain. TransMusi yang kunaiki berputar arah. Aku memutuskan turun sambil memikirkan caranya menentukan tempat bertemu dengan Elen. Waktunya sudah sangat mepet dengan waktu seharusnya kami berjumpa.
Saat berteduh di emperan toko, aku melihat keluarga ini. Anggota keluarga sejumlah 11 orang dengan 4 orang anak-anak perempuan antara 3 - 11 tahun, 3 pasang orang dewasa dan 1 orang ibu-ibu sepuh sekitar 57-60 tahun.
Di dekat mereka ada 3 buah gerobak dengan ukuran sama terbuat dari kayu. Salah satu dari anak perempuan itu sedang tidur-tiduran dalam salah satu gerobak.
Aku melihat banyak barang di salah satu gerobak mereka. Saat itu, terlintaslah banyak pertanyaan.
Dimana mereka tinggal? Menetap?
Bagaimana mereka hidup? Makan? Beristirahat? Bekerja?
Apakah anak-anak ini bersekolah?
Apa yang membuat mereka memilih bergerobak bersama?
Apakah pola hidup serupa nomaden ini sangat menyenangkan karena tidak ada tagihan yang wajib dibayar?
Sudah berapa banyak yang melihat mereka?
Apakah ada orang yang memikirkan bagaimana membina mereka?
Sudah berapa banyak orang yang berbelas kasihan memberikan sekedar nasi bungkus untuk mereka sehingga mereka memilih meneruskan pola hidup seperti ini?
Terutama sekali pertanyaan berikut.
Ada berapa banyak lagi keluarga dengan membawa gerobak bersama mereka ada di kota kami?
-catatan dari kotaku, 31 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H