"Bagaimana nak, sudah dapat pekerjaan?" Tanya seorang ibu.
"Hemmmm belum Bu, mana ada sih perusahaan yang mau menerima orang cacat seperti saya ini" Tungkas Putri (nama samaran).
"Yaaa... yang sabar ya Nak, kita sedang diuji" Ucap Ibu pasrah.
Pernahkan mendengar kata-kata seperti itu? Ya itu adalah sekelumit contoh yang dihadapi oleh orang-orang yang berkebutuhan khusus karena adanya kecacatan dalam tubuhnya baik akibat kelainan lahir (atau sering disebut kongenital), penyakit atau kecelakaan. Di Negara kita yang katanya makmur, ternyata lirikan pemerintah akan kejadian seperti ini belum terlalu tajam. Sebagai contoh, di Ibukota Negara yang memiliki fasilitas bus transjakarta, saya akui moda transportasi itu sangat bagus, namun sangat disayangkan tidak semua orang dapat menikmatinya hanya lantaran cacat tubuh, sehingga tidak dapat berkompetisi untuk berjejal supaya dapat masuk ke dalam bus. Berbeda dengan Negara lain yang sudah melirik akan keberadaan orang berkebutuhan khusus itu, mereka akan disediakan jalur tersendiri supaya dapat mengakses masuk ke dalam bus, bahkan tidak hanya itu. Pengalaman saya tinggal di Negara Sakura dan bekerja dengan orang-orang penyandang cacat akibat penyakit "ayan" atas perhatian dari Pemerintah, ketika ada pasien yang hendak menggunakan bus, maka secara khusus sopirnya akan turun untuk membantunya masuk ke dalam bus, mengikatkan kursi roda ke tempat yang telah disediakan sampai menanyakan apakah pasien itu benar-benar nyaman dalam bus, sementara di Indonesia, jangankan mendapatkan tempat yang nyaman dalam bus, untuk akses masukpun mereka terpaksa berdesak-desakan yang akhirnya penyandang cacat itu akan tersisihkan. lalu mana buktinya bahwa bahwa Negara mengayomi semua warga negaranya?
Itu dari sisi pelayanan, lain dari itu pernahkah kita melihat segala macam desain bangunan fasilitas umum di Indonesia? seperti mall, stasiun KA, terminal bus, bahkan rumah sakit yang notabene sering digunakan untuk orang-orang penyandang cacat itu untuk kontrol. Sebagian besar juga masih "Health people oriented" yang seolah-olah orang - orang normal lah yang boleh mengaksesnya, penyandang cacat no way!!! apasusahnya sih, kalau misal untuk masuk mall ada tangga berundak, maka sediakanlah jalan juga untuk penyandang cacat supaya bisa masuk juga.
Bus atau kereta, apakah jalan masuknya sudah dapat dikatakan friendly untuk penyandang cacat? Pengalaman di suatu stasiun KA, lha untuk masuk kereta saja kudu naik undak-undakan dulu, bagaimana penyandang cacat akan masuk? mbok ya dirubah tuh pintu atau akses masuknya, bukankah kita sudah banyak ahli yang mampu mendesain kendaraan yang friendly untuk penyandang cacat atau sediakanlah satu gerbong kereta untuk mereka supaya mereka dapat menikmati fasilitas.
Satu lagi, tergelitik dari blog seorang teman yang menuliskan bahwa orang yang gendang telinganya robek tidak dapat menjadi anggota di kepolisian atau TNI dengan berdalih alasan kualitas dan sebagainya, pernahkah berpikir untuk mencari keahlian seseorang tanpa menilai cacat dalam tubuhnya dahulu? Mungkin orang tersebut bukan ahli dilapangan, melainkan dia ahli strategi atau apalah. Sharing saja, disini saya sering menemui pasien dengan epilepsi yang datang untuk membuat surat pernyataan untuk mendaftar menjadi anggota polisi, lalu saya tanyakan kok bisa orang dengan epilepsi atau ayan dapat menjadi polisi, dan jawabnya sangat bagus sekali, bahwa orang dengan epilepsi akan ditempatkan bukan dilapangan dengan segala macam senjata, melainkan mereka akan diterima dan ditempatkan untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. So disini yang lebih mementingkan adalah kompetensi atau keahliannya bukan menilai dari cacat tubuhnya terlebih dahulu.
Miris memang ketika melihat orang cacat di Indonesia, seolah mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkarir, bahkan untuk mengakses yang namanya transportasi, susahnya minta ampun. Equalitas menurut saya sudah saatnya diterapkan untuk penyandang cacat mulai dari segi aksesibilas fasilitas sampai karir. (Tulisan ini terinspirasi ketika melihat para perawat sedang bercengkerama dengan pasien di lapangan depan rumah sakit tempat saya bekerja, mereka tertawa bahagia sambil mendorong kursi roda dan bahkan "balapan" satu sama lain untuk menikmati sinar matahari siang -mendambakan itu terjadi di Indonesia) (Shizuoka 120319/SJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H