Lihat ke Halaman Asli

Kejarlah, Kawan!

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1383446883140842406

“Percayalah, mimpi yang tidak kau perjuangkan akan menghantui kehidupanmu seumur hidupmu.”

Kalimat ini saya kutip dari film kartun robot yang saya tidak tahu persis apa judulnya pada minggu lalu. Di film ini, sang tokoh, Rodney, hampir putus asa sebab kecewa terhadap perlakuan idolanya, Bigweld, yang meremehkan Rodney karena ia hanya punya kemampuan yang rendah untuk meng-up grade robot. Padahal maksud kedatangannya adalah untuk belajar kepada idolanya itu. Putus asa terhadap perlakuan ini, Rodney memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ia lalu memutuskan bahwa dirinya memang seorang pecundang. Ia lalu menelepon ayahnya dan kemudian menceritakan keputusasaannya tersebut kepada ayahnya. Saat-saat putus asa seperti itulah kemudian sang ayah menjawab, “Rodney, percayalah, mimpi yang tidak kau perjuangkan akan menghantui kehidupanmu seumur hidupmu. Jangan kau putus asa.” Di akhir cerita, Rodney bisa membuktikan kemampuannya meng-up grade robot yang ia tunjukkan pada Bigweld dengan sangat mengagumkan.

Pesan dari cerita di atas adalah bahwa janganlah mudah berputus asa. Janganlah mudah memutuskan bahwa diri ini terlalu rendah. Buktikan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Saya tidak bermaksud ingin menggurui sahabat-sahabat semua dalam tulisan ini. Tapi ada semacam pemikiran yang ingin sekali saya bagi kepada sahabat-sahabat semua.

Putus asa. Putus asa sejatinya adalah belajar mengubur harapan. Putus asa memungkinkan kita melupakan banyak hal positif yang sering tidak kita sadari. Dalam bahasa sederhana saya : misalkan ada orang yang mempunyai uang 500 ribu di dompetnya kemudian ia kecopetan 400 ribu. Nah, orang yang putus asa akan memfokuskan dirinya pada “kehilangan uang 400 ribu –sehingga ia pusing memikirkannya”, ketimbang memilih menitikberatkan pada “sisa uang 100 ribu.” Andai ia lebih perhatian terhadap sisa uangnya, maka bukan tidak mungkin proses penciptaan kreatif bisa muncul di sana yang mungkin bisa dipakai untuk “membuat” uangnya kembali dengan cara berdagang atau mengambil pekerjaan yang lain. Jika ini terjadi maka proses kehilangan tadi justru merupakan pintu lain yang dibukakan oleh Tuhan untuk memaksa kita untuk berpikir kreatif. Bukan dengan mengambil sikap putus asa ataupun kesal.

Dalam dunia pembelajaran, putus asa juga sering menjadi “penyakit mematikan” atas buntunya proses berpikir dan berkarya. Putus asa karena diejek teman. Putus asa karena nilainya anjlok. Putus asa karena ditertawakan. Putus asa karena “tidak dianggap” oleh komunitasnya. Putus asa karena karyanya kacangan dan lain sebagainya. Sikap putus asa ini telah membuat mata kita “buta” terhadap diri kita yang pada akhirnya mendefinisikan kemampuan diri sebagai sesuatu yang sangat dangkal. Dengan cara pandang demikian, maka menutup kemungkinan untuk berbuat yang terbaik. Jelas, ini merugikan –bahkan meremehkan- diri kita sendiri.

Berefleksi dari sini mungkin kita perlu belajar memikirkan untuk bagaimana caranya menyikapi kekecewaan yang kita alami dengan mengolahnya sebagai sumber “pupuk” yang subur yang bisa meningkatkan kualitas kemampuan kita. Tapi sebelumnya saya akan menyampaikan setidaknya 1 hal yang menjadi ciri khas putus asa: sikap membanding-bandingkan. Ini penting untuk dipahami bahwa sikap membanding-bandingkan kemampuan (ataupun pendapatan) diri sendiri dengan kemampuan orang lain adalah kesalahan mutlak –setidaknya menurut saya. Apa pasal? Silahkan baca kisah di bawah ini:

LOMPATAN SI BELALANG.....

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi diantara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi kesana.

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing, ''Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan disini?'' ''Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,'' jawab anjing dengan sombongnya. Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi ''Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita''. ''Baik'', jawab si anjing. ''Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut''. Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempata n berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula. Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, ''Nah belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah''. ''Belum'', jawab si belalang. ''Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua?'' ''Apapun tantangan itu, aku siap,'' tukas si anjing. Belalang lalu berkata lagi, ''Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, dari diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya''. Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum. ''Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga'', kata si anjing.

''Tidak perlu'', jawab si belalang. ''Karena pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang. Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?''

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline