Jika ia mau, Muhammad, mestinya punya alasan yang sempurna untuk mengeluh dan akhirnya putus asa, ketika ia lahir ke dunia. Tapi sekali-kali tidak. Sekali-kali tidak. 19 Juli 2009 “Jadi, apa pesan Anda?” “Kehidupan mengajarkanku untuk tidak tunduk terhadap kegetiran dan kepahitan. Di saat aku melihat tak ada lagi orang yang mau membantu ketika aku jatuh, aku menjadi sadar bahwa satu-satunya orang yang bisa menolong diriku hanyalah diriku sendiri. Ini bukan tentang kehilangan asa atas kekurangan perhatian, tapi ini tentang bagaimana kau bisa melihat cahaya di tengah kegelapan. Ini juga bukan soal keinginan untuk diberi iba dari orang lain, entah itu teman atau sahabat, melainkan soal mendidik diri untuk belajar meluruskan kepala dengan tegak meski kau tahu urat lehermu telah hampir patah, belajar menatap apa yang ada di hadapanmu dengan mata yang tajam meski kau sadar moncong pistol hanya berjarak satu senti di depan keningmu, dan belajar berdiri tegar dengan kaki yang sendi-sendi lututmu telah lunglai tak berdaya. Itulah yang aku lakukan untuk bertahan. Namun, bagaimanapun juga, aku tetap manusia. Beban-beban itu, meski aku sungguh-sungguh bisa menghadapinya, tapi aku masih belum bisa mengerti kenapa ia berbuat seperti itu. Ia pria yang kejam, tak punya moral dan .....” Melihat sang bintang tamu lidahnya mulai tercekat dan sebentar lagi kelu, pembawa acara lalu dengan sigap langsung menutup program Inspiration yang disiarkan secara live ini dengan kesimpulan dan jeda iklan. “Maaf ya, Ibu Embun, saya tadi bertanya tidak sopan,” tukas pembawa acara,”tidak seharusnya saya bertanya seperti itu.” “Tak apa, Pak. Tidak perlu minta maaf. Ini salah saya sendiri.” Jawab Embun mencoba tersenyum sambil menenangkan sang pembawa acara. “Terima kasih Ibu Embun atas kehadirannya di stasiun kami. Kisah hidup anda telah menginspirasi banyak orang di negeri ini. Permintaan belasan ribu pemirsa via surat langsung, email, facebook dan twitter kepada stasiun televisi kami, semoga terpuaskan dengan tayangan live malam ini.” “Sama-sama, Pak.” *** “Kenapa tadi kau terbata-bata, Embun?” tanya temannya sambil mengendarai setir mobil ketika mereka bersama-sama pulang dari stasiun televisi Nusantara-TV. “Kau gila ya? Cerita tentang aku yang diperkosa, harga diriku yang terkoyak-koyak, sudah menyebar luas di semua media cetak dan elektronik. Bahkan sudah menjadi komoditi utama bacaan kolom-kolom surat kabar. Sudah cukup kepada Majalah Obor saja aku ceritakan semua kisah hidupku. Bisakah kau mengerti getirnya ingatan ini?” Embun menyampaikan itu kepada temannya dengan mimik yang serius. Sembari diiringi kekesalan yang tersembunyi. Ia berharap temannya mengerti situasi traumanya. “Baiklah. Maafkan aku.” jawab temannya sambil terus mengemudi ke arah bilangan Jakarta Selatan. Mobil kemudian melaju secara perlahan karena tiba-tiba hujan deras dengan diikuti angin di sana-sini. Cuaca seperti tak bersahabat. Angin kencang menumbangkan beberapa pohon di sepanjang pinggir jalan. Jarak pandang pun bahkan berkurang oleh tebalnya curah hujan yang menyapu kaca depan mobil milik Embun. Tak sampai tiga jam. Akhirnya mobil sudah terparkir di rumah. Embun dan temannya lalu bergegas keluar dari mobil, masuk ke rumah dengan kuyup karena meski jarak tempat parkir ke pintu rumah hanya sekitar lima puluh meter, namun intensitas hujan yang sangat tinggi membuat sekujur badan serta pakaian mereka basah semua. *** 15 April 2003 “Ini rencana gila! aku tak mau membantumu. Kau sudah kelewatan! Dia akan trauma sampai besar nanti, Fajar. Ingat, yang sedang kau hadapi adalah manusia dan dia adalah sahabatku. Sahabatku, Fajar!” Bentak seorang perempuan bertubuh mungil dengan mata merah itu kepada Fajar di kamarnya yang pengap dengan asap rokok. Fajar lalu memperbaiki posisi duduknya di atas kursi kayu jati, menggeser kedua lengannya lalu mendekapkan lengannya di atas meja. Ditatapnya dalam-dalam wajah perempuan berkaos ungu itu di depannya sambil ia menghisap sebatang rokok kretek yang tinggal setengah. “Justru karena ia perempuan, seperti kau Shanty. Kalau dia laki-laki sudah aku tampar wajahnya. Tak ada cara lain di waktu yang sangat singkat ini. Aku tahu benar kemampuan larinya. Ia ikut lomba itu hanya sebatas amanat dari ayahnya. Keputusan emosional. Tidak matang. Tak ada latihan yang benar-benar serius. Piala dari lomba lari itu akan menjadi persembahan terbaik untuk ayahnya yang meninggal 6 bulan yang lalu.” “Amanat dari ayahnya?” “Ya.” “Darimana kau tahu?” “Ayahnya sering bercerita di kedai kopi Taman Ismail Marzuki ketika kami diskusi soal lukisan-lukisan karya Rembrandt kuna yang hilang di Serbia. Ia pernah cerita bahwa dalam hidupnya yang sekali ini ia ingin sekali melihat anaknya berlomba lari di lintasan lapangan. Dan apa kau juga mengerti bahwa Embun terindikasi mengidap penyakit bipolar disorder.” “Bipolar disorder?” tanya Shanty keheranan. “Ya. Biasa disebut manic. Gejalanya bervariasi, termasuk kegelisahan, energi yang meningkat, suasana hati yang sangat gembira atau terlalu sedih, pemikiran-pemikiran yang tergesa-gesa, tiba-tiba menjadi uncommon introvert dan kesulitan berkonsentrasi. Orang-orang yang mengalami episode-episode manic seringkali berbicara dengan cepat atau sangat lambat, nampaknya sangat teriritasi, dan mungkin mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak realistik tentang kekuatan dan kemampuan mereka sendiri. Halusinasi menjadi bagian penting dari episode hidup Embun. Aku ingin ia membuka matanya tentang fakta dunia. Aku ingin ia menghadapi semua realitas di luar tidak dengan cengeng, merebut perhatian orang dengan menyendiri, berharap orang lain akan membantunya.” “Kau berlebihan, Fajar! Embun tidak separah itu. Meski ia tidak mempunyai dua tangan, ia manusia yang kejiwaannya normal !” Nada bicara Shanty mulai meninggi. “Mataku melihatnya berbeda, Shanty. Mungkin aku salah besar dan Embun tidak separah itu, tapi sebelum menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Kalau memang perkiraanku salah, anggap saja ini rencana preventif. Dan lagipula, bantulah aku di sisa-sisa ...... ” “Cukup, Fajar. Cukup. Aku tahu maksudmu. Jangan kau minta lagi dengan alasan itu. Aku mengerti.” “Shanty, kau harus tahu,” Fajar beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju tirai jendela hijau di lantai lima belas ini untuk kemudian membukanya agar ia bisa menatap senja di pantai, memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana di sampingnya, lalu berkata, “akan kacau dunia kalau manusia melupakan masalahnya. Keseimbangan kehidupan baru terjadi saat manusia merasakan masalah dan melihat solusi dalam satu garis waktu yang sama. Mirip hukum supply and demand. Kau pasti lebih mengerti.” Angin pantai sore yang berasal dari luar mulai mengibaskan hawa malasnya di apartemen tua ini. Suasana hening, kemudian tiba-tiba semakin sunyi. Waktu seperti berhenti satu sampai dua menit di ruangan yang dipenuhi replika lukisan-lukisan abstrak karya Rembrandt dan Picasso. Shanty menggamit lengannya sendiri. Merasakan dirinya mulai bergetar. Menimbang-nimbang dengan perasaan tak menentu kepada sahabatnya yang ada di kamar ini. Ini adalah tawaran tolol yang pernah dialaminya seumur hidup. Ia tahu, sadar, bahwa pada akhirnya nanti ia akan menjadi bagian tak terpisahkan dari rencana ini, yang artinya ia turut andil terhadap terjadinya rencana ini. Perasaan bersalah menggelayut bagai bandul pendulum yang bergerak dengan ekstrim, kadang ke kanan atau ke kiri dengan amplitudo yang maksimal, dengan simpangan yang arah geraknya liar. “Baiklah. Tapi satu hal, Fajar.” Kali ini Shanty yang beranjak dari kursi memantapkan hatinya kemudian menyusul Fajar hingga tepat ia berdiri di sampingnya, berkata sambil menatap pemandangan yang sama seperti Fajar menatap senja, “Suatu hari nanti kau harus minta maaf kepadanya. Ini pilihan yang sangat beresiko. Jika gagal, ini sama saja kita telah membunuh hidup-hidup seorang perempuan polos yang tidak tahu apa-apa tentang rencana ini.” Fajar menghela nafas panjang dan tersenyum ke arah Shanty. “Shanty, di akhirat nanti, jika ini gagal, aku sendiri yang akan minta ke Tuhan untuk menanggung beban dosa rencana ini ke dalam hisab-ku. Kau jangan khawatir. Ini semua sudah ku ukur resikonya. Jangan remehkan mental Embun. Ia perempuan yang kuat. Percayalah, ia hanya butuh pemicu. Terima kasih, Shanty.” Cahaya matahari yang mulai berpendar merah di kejauhan menyinari wajah Fajar yang kemudian berdoa dengan khusyuk sambil berdiri. *** 20 Juli 2009 Di pagi buta yang masih dingin itu, setelah solat subuh, handphone Shanty berdering. Sebuah notifikasi di timeline twitternya muncul dengan pesan: Andika Geni @genigenia : @shantyideas Rest in Peace, Fajar Arcana, peserta Abstraction Art Gallery di Serbia. Karya terakhirnya masih baru selesai tiga perempat. Sayang sekali, padahal itu lukisan yang eksotis sekali. Shanty gemetar. Bukan karena terkejut mendengar kabar hari ini. Shanty sadar sedari dulu, cepat atau lambat, umur Fajar akan singkat. Fajar mengidap penyakit kanker otak sejak berumur 20 tahun. Ia memejamkan matanya. Mencoba menahan air mata yang mulai meminggir di kelopak matanya. Ia gundah segundah-gundahnya. Seperti yang sudah Shanty perkirakan. Fajar takkan pernah menyampaikan langsung pada Embun apa yang sesungguhnya terjadi. Fajar orang yang keras kepala, ia tahu benar itu. Ia melihat sahabatnya, Embun, masih tertidur pulas di atas kasurnya. Ia masih memikirkan cara bagaimana amanah dari Fajar harus disampaikan kepada Embun. Bagaimana cara ia harus menyusun lipatan kalimat demi kalimat untuk disampaikan kepada Embun bahwa yang terjadi dahulu sepanjang dua bulan sebelum lari itu adalah rekaan. Rekayasa. Kata-kata hinaan dan cercaaan merendahkan hampir tiap hari yang seringkali diucapkan Fajar dan teman-temanya dulu kepada Embun, itu adalah akal-akalan Fajar saja untuk membangkitkan kebencian di diri Embun. Fajar sadar bahwa tak mungkin memenangi lomba lari 10K dengan kemampuan jauh di bawah rata-rata. Motivasi saja tak cukup. Latihan singkat pun takkan berarti. Fajar tahu, Embun memiliki amanat dari almarhum ayahnya untuk mengikuti lomba lari itu. Fajar memaknai bahwa pesan dari ayahnya itu bukan berarti untuk menang, tapi untuk mengajarkan kepada Embun bahwa ia harus berani melawan ketakutannya sendiri, sepanjang ia belum bisa menaklukkan dirinya sendiri, mustahil ia bisa menaklukkan orang lain. Ayahnya sangat mafhum bahwa ia dikaruniai anak yang secara fisik tidak lengkap. Ia ingin anaknya belajar memiliki mental seperti Forrest Gump, yang pincang kakinya namun tak menyurutkan niatnya untuk berpetualang. Atau seperti Guido Orefice dalam film Life is Beautiful yang berhasil membuktikan pada Nazi bahwa penjara hanya bisa mengurung badannya, fisiknya. Namun ia takkan bisa pernah mengurung jiwa. Shanty pun bingung bukan kepalang tentang bagaimana lidahnya harus mengucap pada sahabatnya itu bahwa peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada dirinya adalah omong kosong. Lagi-lagi, ini semua hanya siasat Fajar saja untuk benar-benar menenggelamkan Embun ke titik terendahnya. Saat itu, Embun tak sadarkan diri, setelah minum pil tidur yang telah di isi ke minumannya oleh Shanty, Embun lalu di bawa ke sebuah kamar pengap nan panas yang telah disewa oleh Fajar. Di sanalah, atas arahan Fajar, Shanty menelanjangi Embun di atas kasur dengan mengikat kakinya, tak lupa memberi lakban hitam untuk dilapisi ke seluruh bibirnya. Agar situasi lebih mencekam, kasur di buat kusut hingga helai-helai bulu kasur bertebaran ke seluruh ruangan. Ruangan dibiarkan penuh bau asap rokok dan minuman keras. Lampu dibiarkan menyala sehingga ketika sadar, Embun tahu dirinya sedang mengalami peristiwa apa. Sesaat sudah membuka mata dan sadar, lampu lalu dimatikan sehingga ruangan benar-benar gelap. Lalu muncul suara ancaman, penuh nafsu dan penghinaan Fajar kepada Embun. Suara itu berasal dari rekaman pengeras suara yang diletakkan di atas meja. Atas seluruh rencana ini, Fajar tak melihat dan tak menyentuh Embun sedikitpun, kecuali ia yang menggotong dari mobil ke kamar ketika pertama kali datang. Setelah semuanya selesai, Embun dibuang dengan pakaian lengkap di pinggir jalan Kuningan, depan Gedung Indorama, Jakarta Selatan. Begitulah singkatnya kronologi rencana licik itu terjadi. Fajar percaya, di saat-saat ternista itulah, seseorang akan menemukan kekuatan yang luar biasa. Bagi Fajar, cinta dan benci adalah sama. Dua-duanya sama-sama menguatkan sekaligus melemahkan. Keduanya sama-sama mampu menimbulkan inner power manusia dan sekaligus bisa menjatuhkan manusia ke jurang depresi yang dalam. Tergantung manusia itu sendiri yang mau mengolahnya. Takdir memang pada akhirnya berpihak pada Fajar. Embun, setelah kejadian itu, selama beberapa minggu mengidap depresi mendalam. Namun, pelan-pelan ia mulai bisa membenahi diri. Seolah ada kekuatan besar yang tiba-tiba muncul di sana. Embun akhirnya bisa mempersembahkan piala lomba lari 10K untuk almarhum ayahnya, meski hanya di posisi ketiga. Bahkan, bulan-bulan dan tahun berikutnya setelah peristiwa itu, karirnya di cabang lari semakin menanjak. Juara-juara setingkat kota lalu provinsi dan nasional, berhasil ia menangi. Yang mencengangkan adalah ia selalu lari di cabang olahraga lari yang semua pesertanya memiliki fisik normal. Di sinilah, Embun mulai menjadi perbincangan media. Media mulai meliput kisah hidup Embun. Apalagi setelah tahu kisah tragis Embun, seluruh media cetak dan elektronik memburunya untuk dijadikan bahan berita inspirasi. Embun lalu berkesempatan berkeliling seluruh Indonesia untuk memberi semangat kepada orang-orang. “Embun berhasil menaklukkan dirinya. Embun berhasil menjemput takdirnya. Dan Fajar, betapa ia kini bisa tersenyum di sana.” Gumam Shanty dalam hati sambil merenung, “jika begitu, maka lebih baik aku buang saja surat dari Fajar untuk Embun, yang sudah aku simpan bertahun-tahun. Aku harus membiarkan Embun hidup dengan takdirnya. Tak perlulah ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu akan lebih baik baginya.” Shanty lalu mengeluarkan kertas kumal dari dompetnya. Surat itu adalah Surat Fajar yang ditujukan kepada Embun. Shanty baca ulang isinya untuk kemudian dirobeknya. Isi surat itu berbunyi: Jika ia mau, Muhammad, mestinya punya alasan yang sempurna untuk mengeluh dan akhirnya putus asa, ketika ia lahir ke dunia. Tapi sekali-kali tidak. Sekali-kali tidak. Manusia yang diberi banyak kekurangan, yang jalannya berkelok, yang sering sulit, terkadang memang sengaja dipersiapkan oleh Tuhan untuk mengemban amanat yang besar di kehidupannya kemudian nanti. Agar ketika amanat besar berada di pundaknya nanti, ia telah punya kemampuan uintuk menanggungnya. *** “Embun, hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat untuk membawa pulang lukisan dirimu.” “Lukisan diriku?” “Ya.” “Kau pasti bercanda. Siapa pula yang melukisnya?” “Itu tak penting.” “Ah, kau ini. Lalu kemana kita pergi? “Novi Sad. Serbia.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H