Lihat ke Halaman Asli

nety tarigan

Perempuan AntiKorupsi

Menyoroti Hubungan Peningkatan Ekonomi di Bireuen

Diperbarui: 5 September 2018   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengetahui pemberitaan media terkait Bupati Bireuen yang mengeluarkan fatwa haram non muhrim ngopi semeja, sebenarnya bagi saya sebagai perempuan merasa bahwa kebijakan ini sungguh membuat gagal paham untuk bisa memahami maksud dan tujuan dari kebijakan ini. 

Kebijakan yang dibuat dari uang hasil pajak masyarakat faktanya tidak memberikan umpan balik yang positif bagi masyarakat itu sendiri khususnya perempuan. Sungguh dirasa produk hukum kabupaten Bireuen tersebut sangat kontradiksi dengan peningkatan ekonomi, dimana saat ini harusnya digalakan dengan masiv guna membantu pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bireuen untuk keluar dari tingkat kemiskinan.

Jika kita menyoroti hubungan peningkatan ekonomi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bireuen asal Partai Golkar ini, sangat disadari bahwa kebijakan tersebut berpotensi menurunkan tingkat pendapatan daerah Kabupaten Bireuen. 

Mengapa demikian? Seperti kita ketahui bahwa ngopi atau minum kopi merupakan salah satu pemacu perekonomian di Provinsi Aceh. Siapa yang tidak kenal dengan kopi arabica dari aceh? Kopi aceh sudah dikenal di seluruh Indonesia bahkan mancanegara. 

Penikmat kopi pun tidak hanya laki-laki tetapi perempuan juga, dengan rata-rata umur mulai muda hingga yang sudah berumur atau tua. Penghasilan kopi di Aceh sudah menjadi sumber pendapatan daerah yang dipercaya diseluruh Kabupaten Aceh.

Secara sosial, ngopi-ngopi bareng merupakan ajang untuk bertemu satu dengan lainnya sebagai mahluk sosial tanpa dibatasi oleh status baik dia laki-laki maupun perempuan. ngopi di warung kopi ataupun cafe di Aceh memiliki nilai tersendiri bagi penikmat kopi. Hampir setiap sudut di Aceh bertaburan warung kopi ataupun cafe yang kekinian yang menyuguhkan kopi khas aceh. 

Bahkan ngopi itu sendiri dapat dikatakan seperti ciri bagian budaya warga Aceh, hal itu terbukti dengan setiap pendatang yang berkunjung ke Aceh, pasti mencari kopi aceh sebagai bukti sudah ke Aceh.

Jika pemerintah daerah bijak, maka warung kopi atau pun cafe kopi dapat dijadikan sumber ekonomi daerah untuk menambah pendapatan daerah serta meningkatkan tenaga kerja di aceh dengan memperluas perkebunan kopi di Aceh untuk menyediakan kopi bagi warung kopi dan cafe kopi. Jika alur itu dijaga dengan baik, sudah pasti Aceh akan mendapatkan keuntungan yang besar baginya. 

Akan tetapi kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bireuen tersebut dengan pasal 7 dan pasal 13 nya dimana kebijakan tersebut menyebutkan bahwa Penjaja kopi di warung ataupun di cafe dilarang melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB, kecuali bersama mahramnya, sangat menghambat pertumbuhan perekonomian warung kopi atau cafe dimana membangun usaha dengan modal yang sangat minim. 

Pembatasan ruang gerak perempuan untuk ngopi-ngopi cantik setelah pukul 21.00 WIB membuat alur uang yang tidak dapat berjalan dengan baik. Padahal ngopi-ngopi biasanya dinikmati perempuan dan laki-laki sehabis pulang kerja atau sudah waktu malam ketika semua urusan telah selesai.

Slain itu terkait ekonomi, dengan berjamurnya warung kopi atau cafe kopi di Bireuen membuktikan bahwa banyak pemodal yang berharap dapat mendapat keuntungan tiap harinya dari penjualan kopi kepada customer perempuan dan laki-laki dari pagi hingga malam hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline