Lihat ke Halaman Asli

Neti Wulandari

IAIN Ponorogo

Tresno Budoyo Ugo Tresno Alam: Etnobotani Larung Sesaji Telaga Ngebel Ponorogo

Diperbarui: 21 April 2024   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Potret penulis

Alam iki sejatining guru. Larungan do'a dan sesaji (Larung Sesaji) Telaga Ngebel Ponorogo, menjadi tradisi unik dan khas masyarakat sekitar wisata Telaga Ngebel yang terjaga secara turun temurun. 

Pelaksanaannya tahunan setiap 1 Suro atau 1 Muharram pada pagi sampai siang hari yang bertempat di jalanan pinggir Telaga Ngebel. Larung sesaji mempunyai tumpeng istimewa diantara tumpeng lainnya yaitu tumpeng agung berbentuk kerucut dari tatanan beras merah yang dihias sedemikian cantik. 

Serangkaian acara larung sesaji tersusun atas prosesi: (1) pemandian dan penyembelihan kambing kendhit, tidak lupa darahnya di larung; (2) tasyakuran, istighosah, tahlil akbar, dan khotmu al-Qur'an kemudian tirakat; (3) pembakaran kemenyan serta penguburan kepala dan kaki kambing kendhit; (4) terakhir, arak-arakan dan pelarungan tumpeng yang merupakan acara puncak dari ritual larung sesaji.

Sumber: Potret penulis

Prosesi larungan diawali dengan arakan tumpeng agung, tumpeng hasil panen (buah-buahan, sayur mayur, tidak lupa buah durian khas Ngebel), dan, delapan tumpeng nasi dengan lauk ingkung ayam mengelilingi Telaga Ngebel. 

Antusias warga tinggi karena tampil tarian budaya khas Ponorogo seperti Reog Ponorogo yang lengkap dengan atraksi yang menarik. Tumpeng agung di larung ke tengah perairan Telaga Ngebel dengan dipimpin oleh sesepuh tradisi kemudian dihanyutkan, sementara tumpeng lainnya dijadikan royokan warga yang turut memeriahkan dan menonton serangkaian upacara adat tersebut.

Tradisi LARUNG SESAJI terkesan mengandung nilai-nilai luhur kehidupan baik dalam aspek religi, sosial, maupun budaya. Bupati Ponorogo, Bapak Sugiri Sancoko, menuturkan bahwa larungan ini menjadi wujud do'a dan rasa syukur yang dikemas secara teatrikal. 

Sejatinya masyarakat sekitar memang sangat menghargai dan menghormati tradisi ini dalam rangka menjunjung tradisi dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya daerah Ponorogo mengingat kisah "Baru Klinting" yang membekas sepanjang sejarah Telaga Ngebel. 

Masyarakat mempercayai tradisi ini sudah menjadi kesepakatan bersama sebagai kegiatan ritual memohon keselamatan dan bersih desa di Telaga Ngebel demi menghormati para pendahulu.

Sumber: Potret penulis

Ibu bumi sampun maringi, ibu bumi kedah dipuntresnani. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline