Adakah cara untuk melepas diri dari kehidupan patriarki?
Sejarah umat manusia mencatat setidaknya salah satu syarat terbentuknya Negara adalah pengakuan secara de facto dan de jure serta adanya populasi manusia yang menghuni di dalamnya. Kajian ilmu ontologi mulai ditemukan seiring dengan perkembangan jaman dari masa ke masa hingga membuahkan banyak penemuan yang membantu manusia menjalankan roda kehidupannya. Maka dari itu, manusia tidak akan pernah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri sebagaimana terciptanya sebuah pemikiran "manusia sebagai mahluk sosial".
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, masyarakat (yang dulu sering disebut majemuk namun sekarang sedang teruji kemajemukannya) rentan terhadap aliran kritis yang tercipta dari suatu individu maupun kelompok dalam lingkaran pergaulan atau tempat tinggalnya. Sebuah gosip memiliki kekuatan yang mendorong suatu energi untuk berpindah ke suatu tempat dan menyebar sehingga membawa pengaruh baik besar maupun kecil kepada subyek yang dibahas.
Kelompok masyarakat patriarki rentan terhadap terciptanya gosip. Semisal seorang wanita pulang larut malam atau bahkan menjelang pagi, maka norma asusila layaknya penghinaan terhadap harga diri si wanita menjadi pertaruhan di tengah komunitas lingkungannya meskipun belum tentu alasannya adalah untuk hura-hura atau menempatkan diri di pergaulan yang salah.
Masih banyak segelintir contoh kecil untuk menjabarkannya. Namun demikian, masalah di lingkup sosial tidak hanya sekedar kabar burung. Masalah bagaikan energi yang berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, pola pemikiran dan daya tangkap yang berbeda dapat merubah peran dari persepsi mayoritas menjadi standarisasi tak tertulis untuk mengarahkan suatu individu menaati pola pikir orang lain yang kemudian dapat meruntuhkan pendirian idealisme seseorang.
Hal lumrah seperti, "Kapan lulus kuliah? Kapan mencari pekerjaan? Kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan nasibmu akan berubah?" merupakan segelintir contoh dari buah standarisasi masyarakat tanpa memikirkan bahwa setiap individu mempunyai jalan hidup yang berbeda-beda.
Tidak jarang banyak yang terdoktrin melakukan normalisasi patriarki itu meskipun ada juga yang membuat keputusan cepat atas kemauannya sendiri, namun melihat contoh nyata sehari-hari tentu memiliki dampak tersendiri pada pola pikir manusia karena sejatinya jalan pemikiran individu terbentuk berdasarkan pengalamannya sepanjang hidupnya.
Masalah krusial seperti ini tidak akan bisa dihilangkan begitu saja karena sudah termasuk menjadi penyeimbang mekanisme sosial di kehidupan manusia. Tidak ada salahnya memikirkan "apa yang semestinya" namun juga setiap orang berhak berpikir "bagaimana saya ingin menjalani sesuai kehendak pribadi". Kemerdekaan menjalani hidup sejatinya terkikiskan oleh "apa kata orang" dan itu tidaklah membawa dampak baik dari segi psikologis.
Maka dari itu, tidaklah perlu mencampuri hak dan urusan pribadi dalam menjalani roda kehidupannya. Sejatinya sudah menjadi fitrah manusia untuk saling peduli, namun waktu menunjukkan bahwa sikap peduli ada kalanya bisa berubah menjadi terlalu mengurusi---yang kemudian menjadi bukti bahwa orang yang mengurusi hidup orang lain sejatinya tidak puas dengan hidupnya sendiri. Kesenjangan pola pikir seperti ini akan selalu menjadi tantangan tersendiri bagi para milenial dan diperlukan kesabaran tiada batas untuk menanganiya.
Semua kembali ke kemerdekaan berpikir sendiri, apakah kita perlu meresap semua bait kata orang lain tentang bagaimana harusnya kita menjalani hidup atau bagaimana kita terus bergerak maju tanpa menolehkan kepala demi rancangan kehidupan yang sudah harusnya kita putuskan sendiri tanpa terdoktrin aliran kaum patriarki.
NESYA MEGA PERTIWI